1/21/2016

Resensi Film Cartel Land (2015)


Bang Napi selalu berkata, “Kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya. Tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah,” sedangkan Cita-Citata selalu memekikkan ungkapan “Sakitnya tuh disini” lalu, bagaimana jika kedua individu itu disatukan? Cartel Land bisa jadi salah satu jawaban.

Bukan, ini bukan film dokumenter tentang Bang Napi atau Cita-Citata. Bukan pula film mengenai makhluk setengah Bang Napi setengah Cita-Citata, apalagi jika Anda mengira film ini menceritakan Bang Napi yang tobat dan berubah menjadi Cita-Citata atau sebaliknya. Cartel Land murni membahas kegiatan kartel narkotika di Meksiko dan gerakan masyarakat melawan kartel. Dua organisasi masyarakat dari dua negara berbeda, Meksiko dan Amerika Serikat, dikupas tuntas dalam film berdurasi 100 menit ini. Autodefensa dan Arizona Border Recon, nama dua kelompok tersebut, mempertahankan tanah mereka dari serangan kartel candu. Autodefensa, kelompok anti kartel asal meksiko, telah berhasil menaklukkan puluhan kota yang sebelumnya dikuasai kartel. Musuh kedua kelompok itu bukan hanya kartel, masih ada aparat yang menganggap mereka sebagai ancaman. Bahkan Autodefensa sempat dikecam oleh Presiden Meksiko. Arizona Border Recon juga tak kalah miris. Eksistensinya diklaim sudah meresahkan warga, walau tujuan mereka sangat mulia.

Dibuka dengan kemunculan beberapa orang bersenjata dibalik pakaian tertutup dengan wajah bermasker, penonton bisa merasakan atmosfer kejahatan kartel sejak awal. Kecemasan warga sipil juga ditonjolkan melalui ekspresi yang direkam dari jarak dekat. Ketegangan dalam adegan penggerebekan tokoh kartel dapat dikemas dengan baik lewat pergerakan cepat kamera dan suara-suara hentakan kecil. Kekejaman kartel dipaparkan secara gamblang dalam foto-foto korban pembunuhan kartel.

Cartel Land fokus pada beberapa sudut pandang, itulah membuat film ini unik dan tidak membosankan. Autodefensa, Arizona Border Recon, produsen narkoika, sampai para korban kebengisan kartel sukses ditampilkan mendetail, meski pada akhirnya kisah Autodefensa yang paling dominan.

Cartel Land kurang memberi porsi untuk Arizona Border Recon. Padahal, banyak poin-poin yang bisa digali dari mereka. Aksi pemberantasan kartel hanya terlihat dari pihak Autodefensa. Akan lebih menarik jika Arizona Border Recon mendapat porsi tampil lebih banyak serta ikut terekam dalam pemberangusan kartel.

Sebagai film dokumenter, kritik menohok disematkan melalui ucapan yang terlontar dari pejuang anti kartel. Apa yang bisa diharapkan dari pemerintah kalau kejahatan dibiarkan tanpa solusi? Sebagian besar kritik yang dikemukakan sangat relevan dengan peristiwa di seluruh penjuru dunia. Termasuk Indonesia. Bom yang telah menewaskan warga negara tak berdosa, aliran sesat tumbuh subur, harga bahan pokok melonjak, angka perceraian nasional dan pemerkosaan naik drastis, hampir tidak ada yang bisa diharapkan, kecuali cucu presiden yang sebentar lagi lahir. Semoga saja kehadirannya membawa berkah. Saya juga berharap pada Cita-Citata agar segera mendapat jodoh yang baik, sebaik Bang Napi yang sudah tobat.

Saya tidak bisa membayangkan reaksi warga jika terjadi kekejian kartel obat-obatan di Indonesia. Ketika ada penggerebekan atau baku tembak, saya yakin warga akan sibuk ber-selfie ria, atau menggosipkan ketampanan polisi. Tidak hanya itu, sebagian besar penduduk sekitar pasti akan mengabadikan diri mereka melalui foto pasca peristiwa di lokasi kejadian, atau berfoto bersama sang polisi ganteng. Mudah-mudahan Indonesia aman dari kartel dan kejahatannya, agar para warganya tidak kecanduan berfoto. Waspadalah terhadap kejahatan, agar Anda tidak merasakan sakit di mana-mana.


Share: 

1 komentar: