2/25/2016

Resensi American Crime Season 2 Episode 5 & 6



Episode Five


Fakta-fakta mengejutkan mengenai Leland, sekolah lama Taylor, terungkap. Dan Sullivan mendapat saran dari istrinya untuk segera meninggalkan Leland dan pindah ke perguruan tinggi karena masalah yang menimpa tim basket sekolah. Taylor menghadapi hari-hari penuh kesendirian. Eric pulang dari rumah sakit.

Episode kelima menceritakan kehidupan semua karakternya dengan sangat adil. Tidak ada tokoh yang menonjol atau muncul terlalu sering. Porsi kemunculannya sangat berimbang. Dialog-dialog antar karakter juga terasa mengalir dan tidak berlebihan. Pergerakan kamera ketika pentas tari dilangsungkan cukup membuat penonton meresapi ironi dari kondisi pendidikan yang runyam.

Untuk pertama kali dalam sejarah penayangan American Crime musim kedua, saya merasa ada yang lebih mengenaskan kejomloannya dari saya. Adegan-adegan saat Taylor sendirian di rumah, berbaring di kasur tanpa teman, dan memencet tombol di microwave dengan ekspresi kesepian mengundang empati dari sesama jomlo seperti saya. Malam minggu diiringi hujan deras dan hanya ditemani oleh mie instan yang hampir kadaluarsa adalah malam-malam terburuk seorang jomlo. Apalagi jika tidak ada pulsa atau akses internet. Lengkap sudah penderitaan. Para jomlo hanya bisa pasrah dan berharap malam minggu segera berakhir atau berharap sosok Godzilla keluar dari bawah tanah dan melahap orang-orang yang sedang bermesaraan dengan kekasihnya.

Episode Six


Taylor meneruskan terapinya. Siswa hispanik di sekolah Taylor tetap melanjutkan unjuk rasa. Eric kembali bersekolah. Orang tua Kevin mencoba berbagai cara untuk menghindarkan dia dari tuntutan.

Episode keenam berjalan cukup baik meski temponya sedikit lebih lambat dari episode sebelumnya. Pergolakan emosi Taylor semakin intensif dan membuat penonton bisa memaklumi segala tindakannya. Pengembangan karakter bisa dimaksimalkan dengan baik dan menghasilkan suasana serta dialog yang menarik sekaligus realistis. Keluarnya tokoh baru sedikit mengganggu jalannya episode karena kurang utuhnya penggambaran watak sang tokoh.

Episode Six banyak menyorot perjuangan orang tua agar anaknya bisa hidup tenang. Bahkan, ada orang tua yang rela melakukan perbuatan negatif demi anaknya. Buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, kira-kira begitu kata peribahasa. Jika seorang ayah suka gonta-ganti istri dan mendidik anaknya dengan serampangan, bisa dipastikan anaknya menjadi nakal dan kebut-kebutan di jalan tol hingga menewaskan tujuh orang. Sayangnya, sang ayah kini akan menjadi calon gubernur ibukota. Jika sang ayah adalah pemimpin negara yang baik, jujur, dan tidak suka gonta-ganti istri, tidak mungkin lahir anak yang menjadi desainer ngondek, ketua umum partai yang tidak jelas juntrungannya, atau melahirkan cucu yang pernah berpacaran dengan Jane Shalimar dan kini tidak jelas bagaimana nasibnya.

Ayah yang mendidik anaknya dengan baik akan menghasilkan pribadi yang baik pula. Pribadi yang mau bekerja keras hingga bisa berjualan martabak dan memiliki katering untuk pernikahan. Sebentar lagi sang anak akan “menghadiahkan” orang tuanya cucu yang diharapkan sanggup menjadi pemimpin yang jujur, tidak seperti kakeknya


Share: 

2/20/2016

Resensi American Crime Story: The People Vs. O.J. Simpson Episode 1 & 2


Siapakah O.J. Simpson? Bagi generasi yang lahir pasca reformasi, O.J. Simpson mungkin dianggap masih satu darah dengan Bart, Homer atau Lisa Simpson dari serial The Simpsons. Bukan, O.J. Simpson yang memiliki nama lengkap Orenthal James Simpson adalah mantan atlet american football, aktor, dan narapidana kasus perampokan. Sebelum dipidana karena merampok pada tahun 2008, Simpson pernah menjalani persidangan atas tuduhan membunuh mantan istrinya, Nicole Brown Simpson, dan Ron Goldman, pelayan yang juga teman baik Nicole. Ryan Murphy dan Brad Falchuk, duo sineas brilian kreator serial Glee dan American Horror Story menjabat sebagai produser eksekutif dalam serial yang dibintangi Cuba Gooding Jr, John Travolta, Sarah Paulson, dan Jason Schwimmer ini. Dengan deretan aktor serta aktris mentereng, sespektakuler apakah American Crime Story?

Episode 1: From the Ashes of Tragedy

Tanggal 13 Juni 1994, dunia dikejutkan oleh pembunuhan Nicole Brown Simpson dan Ron Goldman. Keduanya ditemukan tak bernyawa di pekarangan rumah Nicole. O.J. Simpson (Cuba Gooding Jr.), mantan suami Nicole, dituding melakukan pembunuhan tersebut. O.J. menyewa tim kuasa hukum yang terdiri atas Robert Shapiro (John Travolta) dan Robert Kardashian (Jason Schwimmer). Kasusnya dieskpos banyak media massa. Bahkan ketika O.J. Mendatangi upacara pemakaman sang mantan istri, banyak wartawan dan reporter yang meliput.

Serial TV yang baik adalah serial yang membuat penontonnya antusias menunggu episode selanjutnya. American Crime Story berhasil melakukan itu. Saya yang tidak tahu seluk-beluk kehidupan O.J. Simpson merasa penasaran dengan episode penerusnya. O.J. Simpson “dikenalkan” pada penonton dengan cara yang ringan namun serius. Cara seperti itu sangat memudahkan penonton yang tidak mengetahui sosok O.J. Simpson seperti saya. Penampilan Cuba Gooding Jr. Sebagai pria tempramental yang rapuh dapat mengikat emosi penonton, meski tubuhnya tidak terlihat seperti atlet. Saya rasa Cuba Gooding lebih pantas memerankan pria kurang gizi di daratan Afrika daripada menjadi atlet karena tubuhnya yang kurus .


Episode 2: The Run of His Life

O.J. Simpson menaiki Ford Bronco putih dan sedang dalam pengejaran polisi. Robert Kardashian dihadapkan pada masa-masa genting. Johnnie Cochran (Courtney B. Vance) terus mengamati kasus O.J. dan Marcia Clarke (Sarah Paulson), jaksa penuntut kasus pembunuhan Nicole, marah akibat pengejaran polisi terhadap O.J. Simpson yang tak kunjung usai.

Tempo The Run of His Life berjalan lebih cepat dari episode pendahulunya. O.J. Simpson dan sahabatnya, A.C., mendapat porsi lebih banyak dari karakter-karakter lainnya. Penonton mulai bisa memahami sosok Robert Kardashian. Pengacara yang juga sahabat O.J. itu berhasil mencuri perhatian walau bukan fokus utama cerita. Robert Shapiro tidak terlalu banyak dibahas pada episode kedua. Jika saja tokoh yang diperankan oleh John Travolta itu diberi kesempatan tampil lebih bayak, mungkin episode kedua akan lebih menarik.


Bagi generasi yang hidup di zaman Jokowi atau Ahmad Dhani, keluarga Kardashian populer sebagai keluarga mewah yang bergelimang harta sekaligus bergelimang dosa. Rumah seluas Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), mobil dua pintu yang pintunya bisa terbuka seakan-akan pintunya patah, tas tenteng berhias berlian dan seperangkat alat sholat dibayar tunai, perawatan wajah seharga dua rumah dan dua mobil, masih banyak kekayaan harta yang dimiliki keluarga Kardashian. Konon, Kim Kardashian mendapat jutaan dollar dalam sekali pemotretan sebagai model sampul majalah Paper. Sebagian besar dari foto tersebut memperlihatkan aurat sang model. Betapa hebatnya keluarga Kardashian, melakukan dosa saja dibayar. Walau terlihat kaya raya, sebelum menjadi keluarga berkantong tebal seperti sekarang, keluarga Kardashian adalah keluarga biasa. Tidak terlalu kaya juga tidak terlalu miskin. Ayah dari keluarga Kardashian, Robert, banyak mengajarkan kepada putra-putrinya untuk tidak mementingkan harta. Bahkan Robert tidak suka disorot kamera televisi. Baginya, ketenaran dapat menjerumuskan manusia. Sangat disayangkan kondisi keluarga Kardashian yang kini terjerumus dalam ketenaran.

Share: 

2/16/2016

Resensi Film Spotlight (2015)


Tahun 2001, editor-in-chief baru di kantor berita The Boston Globe, Marty Baron (Liev Schreiber), tertarik dengan kolom mengenai seorang kardinal yang dituduh mengetahui pencabulan yang dilakukan pastor Geoghan. Baron meminta Walter “Robby” Robinson (Michael Keaton), ketua tim investigasi Spotlight yang memiliki spesialisasi dalam penulisan artikel investigasi tingkat tinggi untuk mengusut kasus itu. Robby dan anggotanya, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Brian d’Arcy James) berusaha melakukan investigasi. Mereka mendekati berbagai individu seperti pengacara Mitchell Garabidien (Stanley Tucci), psikoterapis Richard Sipe (Richard Jenkins), dan anggota jaringan korban pelecehan pastor Phil Saviano (Neal Huff). Ternyata kasus tersebut memunculkan banyak fakta mengejutkan.

Pelecehan seksual seolah sudah menjadi masalah yang sangat umum. Institusi pendidikan, kesehatan, lingkungan masyarakat hingga lembaga keagamaan hampir setiap hari mengisi pemberitaan media massa lewat kasus pelecehan seksual. Jumlah pelaku juga tidak kunjung turun, malah mengalami kenaikan. Investigasi tim Spotlight berfokus pada problematika di atas. Wawancara, analisa dokumen dan arsip, sampai pengamatan melalui berita-berita masa lampau bermuara pada satu tujuan. Tom McCarthy sebagai sutradara dapat mengajak penonton memahami perjuangan para kuli tinta. Penolakan wawancara karena pengaruh dari keluarga atau kerabat, waktu yang semakin singkat, konfrontasi antar wartawan, dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab digambarkan dengan sangat brilian.


Akting para pemeran patut diapresiasi. Karakter mereka yang berbeda satu sama lain namun tetap terlihat padu berhasil memukau penonton. Penghargaan Screen Actors Guild Awards untuk seluruh aktor dan aktris yang terlibat dalam Spotlight pantas mereka raih. Karakter Michael Rezendes yang diperankan Mark Ruffalo cukup mencuri perhatian. Sebagai jurnalis ambisius dengan emosi yang kadang meledak-ledak, Ruffalo dapat mencerminkan watak tersebut melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh. Rachel McAdams juga tak ketinggalan menampilkan salah satu performa terbaiknya sepanjang karir sang aktris.

Spotlight meninggalkan tanda tanya besar untuk penonton. Bagaimana cara menghentikan segala kejahatan seksual yang kini seakan tak pernah putus? Saya tak bisa menjawabnya. Saya bukan ahli kesehatan atau seksolog macam Boyke yang agak keperempuan-perempuanan itu. Saya juga bukan Ryan Thamrin yang tampil di program kesehatan salah satu televisi swasta tiap pekan dan kini membintangi iklan air mineral yang konon rasanya manis, semanis sirup Maridjan rasa stroberi. Saya hanya seorang jomlo yang tidak keperempuan-perempuanan (baca: ngondek) dan tidak pula tampan. Saya juga bukan bintang iklan air mineral manis atau iklan sirup Maridjan.



Semoga kasus pencabulan bisa ditekan semaksimal mungkin, dan semoga para pelaku pencabulan dihukum seberat mungkin. Karena saya percaya, seburuk-buruknya orang yang tidak cabul, masih lebih buruk orang yang cabul.


Share: 

2/15/2016

Resensi Film The Hateful Eight (2015)


Delapan orang terjebak dalam satu ruangan ketika badai salju. Semuanya sama-sama mencurigai satu sama lain. Tidak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri. Suasana mencekam. Itu adalah sebagian dari cerita film kedelapan karya Quentin Tarantino. The Hateful Eight, judul film tersebut, mengambil latar waktu pasca perang sipil di Amerika Serikat atau akhir 1800-an. Belum ada wi-fi, belum ada ponsel pintar, belum ada aplikasi chatting dan orang yang terjebak saat badai salju tidak bisa memesan taksi Uber atau ojek online.

John Ruth (Kurt Russel), seorang bounty hunter, membawa tahanan wanita, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) dalam kereta kuda yang dikusiri oleh O.B. (James Parks). Di tengah perjalanan, mereka bertemu bounty hunter kulit hitam. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), nama sang bounty hunter kulit hitam, meminta tumpangan ke Red Rock, kota yang juga tujuan dari John Ruth. Tidak lama setelah Warren naik ke dalam kereta, Chris Mannix (Walton Goggins), sheriff baru Red Rock, mencegat kereta tersebut dan memohon untuk ikut menumpang karena badai salju yang semakin kencang. Mereka beristirahat sejenak sambil menunggu badai salju reda di sebuah rumah kecil milik Minnie dan Sweet Dave, namun sang pemilik sedang tidak ada. Ternyata rumah kecil itu sudah terisi oleh empat orang lainnya, Bob (Demian Bichir) yang mengaku sebagai pengurus rumah sejak pemiliknya pergi, Oswaldo Mobray (Tim Roth), Sanford Smithers (Bruce Dern), seorang jendral perang sipil, dan Joe Gage (Michael Madsen). Mereka semua terjebak dalam rumah kecil nan reyot dan saling curiga terhadap satu sama lain.


Seperti biasa, Quentin Tarantino memberi sentuhan khas pada setiap film-filmnya, tak terkecuali The Hateful Eight. Dialog-dialog panjang dengan bumbu sarkasme dan komedi gelap, darah bercucuran, perempuan aneh, dan Samuel L. Jackson. Di samping dialog-dialog tanpa henti bak tukang kredit panci menawarkan dagangan, terselip adegan-adegan komedi gelap namun cerdas. Salah satu adegan yang membuat saya tertawa terbahak-bahak adalah adegan Daisy Domergue memperagakan ucapan John Ruth. Selain itu, percakapan Warren tentang semur sangat membekas dalam ingatan.

Satu jam pertama The Hateful Eight tidak terlalu memberikan ketegangan. Beberapa bagian terasa kosong tanpa ada kesan tegang atau lucu. Hanya adegan-adegan yang dibuat untuk mendukung cerita namun kurang memberikan emosi pada penonton. Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan film seperti itu, saya sarankan Anda minum kopi hitam satu gelas atau minum dua termos air hangat agar tidak cepat mengantuk. Kalau Anda menontonnya di luar ruangan, sediakan obat nyamuk sebanyak mungkin. Jika sakit berlanjut, hubungi dokter.



Jennifer Jason Leigh memang pantas dinominasikan sebagai aktris pendukung terbaik pada Oscar 2016. Perannya sebagai perempuan nakal dapat menghadirkan emosi tersendiri dan mampu membuat The Hateful Eight semakin menarik.  Saya sendiri sangat suka melihat perempuan nakal dengan muka berantakan. Wajah babak belur Jennifer terlihat sangat realistis. Greg Nicotero dari serial The Walking Dead dan Howard Berger berhasil menjalankan tugas mereka di bidang special make-up effect. Scoring Ennio Morricone dan sinematografi dari Robert Richardson menambah keindahan lewat alunan musik merdu dan panorama pegunungan bersalju. Bukan film terbaik dari Tarantino, tapi sangat layak untuk ditonton.

Share: 

2/05/2016

Resensi Film Our Brand is Crisis (2015)


Sebelum saya memutuskan untuk menonton Our Brand is Crisis, saya menemukan dua hal unik dari film yang diproduseri oleh George Clooney dan Grant Heslov itu. Keunikan yang pertama adalah Sandra Bullock. Jarang-jarang Tante Sandra membintangi film bergenre politik satir. Saya menaruh harapan tinggi kepada Tante Sandra yang sudah berusia 51 tahun. Semoga di usianya yang matang setengah tua, Tante Sandra bisa memberikan performa termanis. Semanis senyuman Tante Sandra.

Hal unik yang kedua adalah kejadian nyata yang melatar belakangi pembuatan Our Brand is Crisis, yaitu pemilihan presiden Bolivia tahun 2002 dan kampanye para kandidat. Kampanye dari Gonzalo Sánchez de Lozada, mantan presiden Bolivia, menjadi bahasan utama Our Brand is Crisis versi dokumenter dan dibuat tokoh fiksinya dalam film berjudul sama yang akan saya review kali ini. Lozada (bukan nama situs jual-beli online) menyewa firma komunikasi politik sebagai konsultan kampanye. Greenberg Carville Shrum, nama firma tersebut, didirikan oleh Stan Greenberg, James Carville dan Bob Schrum. Stan Greenberg adalah konsultan politik pada kampanye Presiden Joko Widodo.

Berlatar di Bolivia, mantan presiden Pedro Castillo (Joaquim de Almeida) mencalonkan kembali dan menyewa tim konsultan komunikasi politik beranggotakan “Calamity” Jane Bodine (Sandra Bullock), Rich (Scoot McNairy), Ben (Anthony Mackie), Nell (Ann Dowd), dan LeBlanc (Zoe Kazan). Mereka berhadapan dengan rival yang selalu memimpin jajak pendapat di media massa, calon presiden Rivera (Louis Arcella) dan konsultan komunikasi politiknya, Pat Candy (Billy Bob Thornton). Segala cara dilakukan kedua pihak untuk mengalahkan satu sama lain. Tak jarang mereka meneror lawannya dengan kampanye-kampanye negatif dan kampanye hitam.


Film berjenis politik satir selalu membuat saya tergugah. Peristiwa-peristiwa politik dan semua aspeknya memang amat menarik untuk diangkat ke layar lebar. Our Brand is Crisis berusaha menjadi film satir dipenuhi kejenakaan. Dialog yang terlalu serius dan lelucon yang terucap dari mulut sebagian besar karakternya berada di momen yang kurang tepat dan membuat filmnya kurang satir. Obrolan antara Jane, Ben, dan LeBlanc yang harusnya lucu berubah menjadi dialog kosong tanpa pengaruh. Sepanjang film, saya hanya tertawa satu kali ketika Jane bermain-main dengan Eduardo, salah satu relawan pemenangan Castillo.

Pernahkah Anda makan nasi dua piring besar tanpa lauk atau sayuran? Anda pasti akan merasa hambar walau kenyang dan tidak lama kemudian terserang diabetes karena makan nasi terlalu banyak. Itulah yang saya rasakan selama 107 menit film berlangsung. Hampir tidak ada emosi yang dapat mengaduk-aduk perasaan penonton. Saya juga hampir terkena diabetes karena kurang berhasilnya komedi yang ditampilkan dalam film ini.


Untungnya saya tidak sampai terserang diabetes. Joaquim de Almeida dan Sandra Bullock menyelamatkan saya. Keduanya sukses mendalami peran masing-masing. De Almeida sebagai seorang politisi ambisius dan sedikit arogan meninggalkan kesan tersendiri bagi penonton. Sandra Bullock juga tampil menawan. Aktingnya sebagai konsultan nakal namun cerdas mengundang decak kagum. Sandra Bullock benar-benar tante idaman.


Sindiran-sindiran politik yang tersemat pada Our Brand is Crisis cukup relevan dengan kondisi politik di Indonesia. Jika Anda ingin tahu bagaimana seorang pengusaha mebel asal solo bisa menang pada pemilihan presiden tahun 2014, tontonlah film ini. Trik demi trik yang dilakukan oleh Jane Bodine dan kawan-kawan kurang lebih sama dengan yang dilakukan tim pemenangan sang presiden yang (katanya) membela rakyat itu.

Share: 

2/02/2016

Resensi American Crime Season 2 Episode 3 & 4



Episode Three

Nama Kevin disebut dalam berita mengenai kasus pelecehan seksual yang menimpa Taylor. Polisi semakin intensif menyelidiki kasus tersebut. Dan Sullivan berusaha mencari solusi dibantu istrinya, Steph Sullivan. Episode ketiga memberikan alternatif jalan cerita dengan semakin bervariasinya tokoh yang muncul. Seperti Elvis Nolasco sebagai Chris Dixon, kepala sekolah negeri tempat kekasih Taylor bersekolah dan karakter Eric Tanner yang lebih digali walau belum cukup dalam. Sedikitnya adegan yang menampilkan kegelisahan Taylor membuat reaksinya sebagai korban kurang diekspos dan meninggalkan rasa mengganjal bagi penonton.

Seperti biasa, sinematografi American Crime bisa dibilang sangat indah dibandingkan serial-serial TV yang lain. Namun, Episode Three tidak terlalu menonjolkan keindahan itu. Meski tidak seindah episode sebelumnya, American Crime masih berada di jalur yang benar dan masih layak ditunggu kelanjutannya. Selain itu, kaum jomlo* lebih dihargai pada episode ini dengan tiadanya adegan-adegan percintaan yang berlebih. Sebagai jomlo, saya sangat mengapresiasi usaha serial karya John Ridley ini. Semoga program TV lainnya bisa ikut serta dalam menghormati dan menghargai kaum jomlo, terutama jomlo ngenes.


Episode Four

Polisi telah mendapatkan hasil dari pemeriksaan barang bukti. Kebenaran mulai terkuak. Dan Sullivan merasa terpukul akibat kebohongan seluruh anggota tim basket. Leslie Graham berkencan dengan kekasihnya. Taylor pindah ke sekolah negeri. Kepingan-kepingan cerita di atas dirangkai dengan sangat indah lewat sudut pengambilan gambar, ekspresi masing-masing karakter dan dialog-dialog kuat diiringi sedikit sentilan untuk masyarakat luas.

Saya tak bisa melupakan adegan saat Leslie Graham menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Amarah meluap dalam diri saya. Bagaimana bisa seorang kepala sekolah bermesraan saat sekolahnya sedang dirundung masalah pelik? Kalau saja saya murid dari Leland, nama sekolah tempat Leslie bekerja, saya akan memecat kepala sekolah saya dan menggantinya dengan perempuan yang lebih baik, berpengalaman, tidak banyak pacaran, dan yang paling utama, harus cantik agar para siswanya betah. Selain itu, kepala sekolah wajib menggratiskan kantin sekolah, karena kantin adalah penguras uang saku siswa nomor dua setelah pulsa. Bahkan, kalau bisa, sekolah memberi pulsa gratis untuk siswanya.

Kritik sosial yang disampaikan oleh Episode Four amat mengena namun tidak menyakitkan. Penonton merasa terikat dengan ceritanya sehingga kebenaran sekaligus kritik yang diselipkan lebih mudah dicerna. Bagi saya, Episode Four jauh lebih baik dari episode pendahulunya di American Crime musim kedua. Semoga episode-episode selanjutnya dapat mempertahankan kualitas itu, dan semoga sistem pendidikan di seluruh penjuru dunia lebih melek akan kebutuhan siswanya. Terutama kebutuhan pulsa dan akses internet untuk foto alay.

*) Jomlo menurut KBBI artinya "gadis tua" dan kini maknanya bergeser menjadi "orang yang     tak kunjung punya pasangan"

Share: