8/27/2017

Resensi Glow - Season 1 (2017)


Di abad 21, gulat wanita sudah menjadi bagian yang lumrah di dunia olahraga. World Wrestling Entertainment (WWE) salah satu penyelenggara kompetisi gulat professional terbesar di dunia, memiliki puluhan pegulat wanita yang aktif kontraknya hingga detik ini. Belum lagi penyelenggara kompetisi lain seperti Global Force Wrestling (GFW) atau Ring of Honor (RoH). Pada medio ’80-an, muncul kompetisi gulat wanita professional pertama bernama GLOW (Gorgeous Ladies of Wrestling). Itulah yang coba diangkat oleh duet sineas perempuan Liz Flahive dan Carly Mensch. Duo kreator serial itu menampilkan 14 perempuan pegulat yang terinspirasi dari kisah nyata GLOW. Ditayangkan oleh Netflix dan dibintangi Alison Brie, GLOW bagi saya adalah salah satu serial komedi terbaik Netflix.

Ruth Wilder (Alison Brie) sudah berkali-kali gagal dalam casting di berbagai film dan serial televisi hingga suatu ketika, kesempatan datang kepadanya saat sutradara eksentrik yang biasa memproduksi film berbujet kecil dan berkualitas rendah, Sam Sylvia (Marc Maron), membutuhkan beberapa perempuan untuk berperan dalam ajang gulat wanita pertama di televisi. Ruth bertemu banyak perempuan dengan karakter yang berbeda satu sama lain. Seperti Sheila (Gayle Rankin) yang merasa dirinya adalah serigala, Arthie Premkumar (Sunita Mani) seorang gadis keturunan India yang sangat menyukai gulat, Carmen Wade (Britney Young), putri pegulat legendaris yang sedang berkonflik dengan ayahnya akibat larangan menekuni gulat, hingga Cherry Bang (Sydelle Noel), pemeran pengganti wanita yang berada dalam kesulitan ekonomi. Ruth tanpa sengaja menarik sahabatnya yang juga mantan bintang opera sabun, Debbie Eagan (Betty Gilpin) ke dalam pusaran dunia gulat akibat masalah pribadinya dengan Debbie. Ruth berusaha menampilkan kemampuan terbaiknya sebagai pegulat sembari berusaha mengakhiri pertengkarannya dengan Debbie.


Tidak mudah mengumpulkan 14 perempuan tanpa kemampuan dasar sebagai pegulat. Menempatkan mereka dalam peran pegulat professional memang perkara yang rumit. Itu adalah salah satu kekuatan yang sukses ditonjolkan oleh GLOW. Kebingungan yang terjadi karena minimnya pengalaman, jadwal yang berantakan karena pegulat yang tidak siap, hingga konflik antar pemeran tersaji dengan sangat menarik. GLOW bukanlah perang argumen lewat twitter untuk pencitraan salah satu petinggi partai baru yang masih mahasiswi itu. Bukan pula kegaduhan akibat menteri dalam negeri yang tidak becus menangani persoalannnya. GLOW merupakan gabungan komedi, drama, gulat dan kritik sosial yang berkolaborasi dengan indah, seindah duet penyanyi perempuan yang kini tengah naik daun dalam tembang Anganku Anganmu. Tengok saja adegan ketika seluruh perempuan itu berkumpul  dan menonton berita televisi mengenai pembajakan pesawat oleh teroris asal Lebanon. Sangat mewakili kondisi sosial masa kini yang memandang aksi semacam itu sebagai bumbu kehidupan yang tidak terlalu menghebohkan. Isu sensitif seperti aborsi juga ikut diangkat melalui karakter Ruth dan Sam yang bertolak belakang namun saling melengkapi.

Memuji kehebatan GLOW dalam mengemas jalan cerita terasa kurang lengkap jika tidak memuji akting para pemerannya yang mampu menampilkan kemampuan terbaiknya. Betty Gilpin sangat menjiwai perannya sebagai seorang ibu muda yang berjuang mengatasi masalah dengan suaminya yang selingkuh . Marc Maron berhasil menghadirkan seniman gagal pecandu kokain di masa tua yang ingin bangkit lewat jalur yang tidak pernah dia minati. Sam memang pribadi yang menyusahkan, penuh sinisme dan kurang menghargai orang lain, namun segala keburukan itu sanggup ditutupi oleh karisma Maron sehingga tokohnya masih sanggup dicintai oleh penonton walau perilakunya sangat mengganggu. Alison Brie juga cukup sukses menempatkan dirinya sebagai aktris kurang beruntung yang sedang terjebak dalam krisis usia 30 tahun tanpa pasangan dan nihil pekerjaan. Belum lagi para pemeran pendukung seperti Britney Young yang mampu mencuri perhatian dan Kate Nash yang menampilkan karakternya dengan apik sebagai perempuan inggris yang anggun.


Akting seluruh cast GLOW jauh lebih baik dari akting remaja hasil pencitraan para pendukung rezim ceroboh. Remaja yang terkenal karena tulisannya di Facebook itu terlihat sangat memuakkan ekspresi wajahnya. Sampai-sampai saya butuh obat mag untuk menahan rasa mual saya. Belum lagi kepemimpinan yang membunuh daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat kini lebih rendah dari nilai rata-rata rapor Nobita di Doraemon. Juga tidak lebih tinggi dari tinggi badan saya yang di bawah rata-rata. Saya bahkan termasuk lelaki  terpendek di antara pria-pria pendek lainnya.

GLOW adalah contoh serial televisi yang menggambarkan perjuangan perempuan dengan detail dan indah. Jika kualitasnya tetap terjaga, sampai musim ke-20 pun akan tetap disukai penonton. Jangan seperti kepala negara yang baru 3 tahun sudah sangat membosankan dan memancing derita.
Share: