1/11/2016

Resensi Film The Look of Silence (2014)



Peristiwa tahun 1965 selalu menjadi topik yang menarik dan tak akan habis untuk dibahas. Kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi pasa masa tersebut memang memiliki daya tarik tersendiri. Joshua Oppenheimer, sineas asal Amerika Serikat, membuka kembali tragedi pada masa tersebut lewat dua film dokumenternya, The Act of Killing dan The Look of Silence. The Act of Killing bahkan sukses mendapat nominasi Oscar tahun 2014 dalam kategori film dokumenter terbaik. Kali ini, saya akan membahas film kedua Oppenheimer tentang peristiwa 1965, The Look of Silence, atau Senyap dalam versi judul Bahasa Indonesia.

Adi, seorang pria paro baya yang kemungkinan berprofesi sebagai penjual kacamata karena hampir selalu membawa kacamata, adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian di Sumatera Utara karena dituding ikut dalam kegiatan komunis. Puluhan tahun setelah peristiwa tersebut, Adi lantas mengunjungi satu-persatu para pelaku pembantaian. Tidak hanya itu, Adi juga melakukan napak tilas bersama salah satu korban yang masih hidup.

Film ini memang menggambarkan dengan jelas mengenai pembantaian pada zaman itu lewat beberapa rekonstruksi adegan yang dilakukan oleh para eksekutor yang kini sudah sangat uzur. Bahkan sisa usianya bisa dihitung dengan jari. Tidak hanya rekonstruksi adegan, para pembantai juga menceritakan segala kejadian masa lalu dengan penuh semangat. Pemotongan organ tubuh, penusukan, hingga tertumpahnya darah, semuanya dijelaskan dengan penuh semangat. Saking semangatnya, kalau saja ada lomba mendongeng tingkat nasional untuk lansia, pasti para jagal tersebut akan memborong seluruh pialanya.

Walau banyak adegan yang merepresentasikan kesadisan para pembunuh tahun 1965, Joshua Oppenheimer masih menunjukkan sisi kemanusiaan pada diri mereka. Salah satu adegan menunjukkan Inong, seorang tokoh pembantaian, bermain-main dengan seekor monyet. Pembunuh macam apa yang suka bermain-main dengan monyet? Pembunuh super sadis macam Mad Dog dalam film The Raid saja tidak bermain-main dengan monyet. Selain itu, ada pula adegan dua orang mantan jagal yang memetik bunga di semak-semak dan menciuminya. Mereka terlihat seperti tukang kebun yang sedang mencuri bunga, tidak terlihat ekspresi khas jagal dalam wajah mereka ketika sedang mencium wangi bunga. Ekspresinya sangat mirip dengan ekspresi anak SD yang sedang menjilati tangannya yang penuh dengan bumbu Chitato.


Sesuai judulnya, The Look of Silence memang banyak diisi dengan tatapan-tatapan mata tanpa dialog. Setiap dua kalimat yang terlontar dari mulut para jagal atau mulut Adi, terselip tatapan-tatapan mata tanpa dialog yang cukup panjang. Bahkan, karena panjangnya durasi tatapan mata tanpa suara, saya curiga, jangan-jangan Adi sebenarnya adalah paranormal yang bisa mempengaruhi pikiran orang melalui tatapan mata.

Walau sebuah film dokumenter, The Look of Silence tetap memberikan hiburan lewat tingkah ayah dan ibu Adi. Sang ayah, lansia yang konon sudah lebih dari 100 tahun hidup di bumi, sering melakukan hal-hal konyol namun terasa menyedihkan. Salah satunya ketika menyanyi dengan suara lirih karena gigi yang sudah habis dimakan usia. Curhatan-curhatan sang ibu juga begitu menyentuh disertai beberapa dialog jenaka.


Secara keseluruhan, The Look of Silence berhasil menyuguhkan perspektif baru dalam sejarah kelam Republik Indonesia. Ekspresi dan tatapan mata minim dialog juga sukses menjadi kekuatan tersendiri. Bagi sebagian lapisan masyarakat, terutama organisasi yang mengaku organisasi kepemudaan namun diisi preman dengan kulit gelap, wajah pas-pasan tingkat dewa dan tubuh bau keringat, film ini tidak sesuai dengan perspektif mereka. Akan tetapi, bagi generasi-generasi penerus bangsa, film ini wajib ditonton untuk menambah wawasan sekaligus memberikan pandangan-pandangan baru mengenai peristiwa 1965.

Share: 

0 komentar:

Posting Komentar