3/20/2016

Resensi Film Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie (2016)


Funny or Die, perusahaan production house milik Will Ferrel, Adam McKay, dan Chris Henchy, merilis film ketiganya. Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie, judul film tersebut, dibintangi oleh pemeran kelas atas seperti Johnny Depp, Alfred Molina, hingga aktor pendatang baru yang mencuri perhatian lewat Room, Jacob Tremblay. Kenny Loggins yang populer sebagai pengisi original soundtrack film Caddyshack, Top Gun, dan Over the Top didapuk menjadi penyanyi lagu The Art of the Deal yang diciptakan khusus untuk film ini. Melihat jajaran aktor dan musisi yang terlibat dalam produksi Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie, ekspektasi tinggi pantas disematkan pada film karya Jeremy Konner ini.

Sineas kawakan Ron Howard yang bermain sebagai dirinya sendiri menemukan sebuah kaset VHS berisi film yang disutradarai, ditulis dan diperankan oleh Donald Trump (Johnny Depp). Film itu berkisah tentang perjuangan hidup dan tips bisnis dari Trump untuk anak kecil yang tanpa sengaja masuk ke ruang kerjanya. Salah satu perjuangan Trump adalah membeli Taj Mahal Casino dari pengusaha Merv Griffin (Patton Oswalt). Kisah cinta Trump dengan mantan istrinya, Ivana (Michaela Watkins) juga beberapa kali dibahas.



Kisah hidup orang-orang yang sukses di bidang tertentu memang amat menarik untuk difilmkan. Sudah tak terhitung berapa jumlah film yang terinspirasi dari kisah orang sukses. Banyak dari film-film tersebut mengambil tema sedih dan memaksakan filmnya untuk terlihat sedih walau sebenarnya tidak menyedihkan. Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie memberikan warna yang berbeda. Cerita kehidupan Donald Trump tidak dibuat memilukan dan tidak pula menguras air mata. Salah satunya karena Donald Trump sejak kecil tidak pernah jatuh miskin dan hidupnya relatif aman. Tidak seperti Saiful Jamil yang hidupnya penuh hambatan. Nikah-cerai, ditinggal wafat sang istri, menjalin hubungan dengan beberapa perempuan namun selalu kandas, sampai ditangkap polisi akibat membangunkan seorang remaja pria dan mengajaknya sholat subuh dengan cara yang tidak senonoh.

Ada satu kesamaan yang dimiliki Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie dengan Saiful Jamil. Kesamaan itu adalah tidak mulusnya jalan cerita. Film yang ditulis oleh Joe Randazzo ini bukanlah film yang luar biasa, sama seperti Saiful yang tidak luar biasa. Secara pengemasan komedi, Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie sudah cukup maksimal. Hanya sedikit dialog yang masih perlu digali lebih dalam untuk memancing tawa penonton. Kekurangan itu bisa ditutupi oleh dialog dan adegan-adegan lain yang sangat absurd dan jenaka. Salah satunya adegan ketika grup musik The Fat Boys menyanyi bersama Trump. Kalimat yang diucapkan Trump seperti “It’s not a fake estate, it’s a real estate.” Atau “It’s the opposite of mistake. It’s a good stake.” Terdengar cukup absurd tapi tetap berpeluang menghasilkan tawa bagi sebagian penonton.



Selain Donald Trump, banyak tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi bagi para pembuat film. Saiful Jamil bisa jadi salah satu dari tokoh itu. Kehidupannya selalu menginspirasi masyarakat luas agar senantiasa bersyukur. Peristiwa miris sangat sering menimpa Saiful. Banyak manusia di dunia ini yang lebih beruntung dari dia. Sebagian besar masyarakat belum pernah ditahan karena membangunkan seorang remaja. Banyak pula orang yang tidak mengalami kecelakaan hebat di jalan tol dan terenggut pasangan hidupnya. Lebih banyak lagi yang tidak pernah menjadi juri kompetisi murahan.


Mungkin Saiful memang ditakdirkan untuk jadi objek kesialan. Karena orang sial pasti pernah beruntung. Bisa saja ada keberuntungan besar yang akan segera menghampiri Saiful. Dicalonkan sebagai presiden, misalnya. Sama seperti Donald Trump yang kini mencalonkan dirinya. Saya rasa Saiful dan Nassar cocok jika dipasangkan sebagai capres dan cawapres dari Partai Dangdut Indonesia Pergoyangan (PDIP).

Share: 

3/15/2016

American Crime Season 2 Episode 7-10


Episode Seven

Adik Eric mencuri cat semprot dan melakukan vandalisme di sekolah. Taylor babak belur akibat pengeroyokoan yang dilakukan teman satu tim Eric. Dokumen kesehatan Anne bocor di internet. Taylor depresi dan mencuri senjata api di rumah pamannya.

Konflik sudah memasuki titik puncak. Kepadatan cerita jauh lebih baik dibanding episode-episode sebelumnya. Episode Seven memfokuskan diri pada penderitaan Taylor pasca semua tragedi yang menimpanya. Sosok Taylor semakin mengundang simpati penonton. Perilaku setiap karakter mengikat emosi penonton pada sebagian besar adegan.

Episode Seven memberi contoh tentang kengenesan seorang jomlo. Namun, kengenesan itu diakibatkan oleh peristiwa ketika sang tokoh masih berpasangan dengan seseorang. Hanya jomlo sejati yang bisa merasakan penderitaan jomlo lain, karena itulah saya paham betapa sakitnya hati Taylor yang jomlo dan tidak punya kawan yang bisa melindunginya. Adegan ketika Taylor sedang berhalusinasi di tengah hutan menyadarkan para jomlo mengenai pentingnya mencurahkan isi hati pada orang terdekat. Termasuk kepada sesama jomlo. Karena jomlo yang bersatu bisa mengubah dunia.


Episode Eight

Taylor ditahan atas tuduhan penembakan di Leyland. Seluruh anggota tim basket berkabung atas kematian Wes. Putri Dan Sullivan (Sky Azure van Vliet), mengakui perbuatannya dan dihukum oleh sang ayah. Sebastian (Richard Cabral) mendatangi Anne dan menjelaskan maksud kedatangannya.

Tak seperti episode-episode sebelumnya, pada Episode Eight tampak beberapa video wawancara dengan berbagai latar belakang. Keberadaan video itu bertujuan untuk mendukung cerita karena semua narasumbernya adalah orang-orang yang pernah bersinggungan langsung dalam kasus penembakan di sekolah, bullying, dan kekerasan terhadap minoritas. Namun, video tersebut masih terasa kurang menyatu dengan isi cerita dan membuat penonton kurang bisa menikmati dan merasakan emosi dalam episode kedelapan ini. Walau memiliki kekurangan pada aspek emosi, sebagai episode yang sudah mendekati akhir serial, Episode Eight menawarkan konklusi yang menarik dan tidak monoton.


Bicara soal minoritas, bagi saya, kaum jomlo sudah menjadi minoritas di tengah maraknya muda-mudi yang berpacaran dan menikah. Kini seorang jomlo bagaikan lansia yang sanggup bermain sepak bola selama 90 menit. Sangat sedikit jumlahnya. Bahkan, menurut prediksi saya, jomlo bisa saja punah seperti dinosaurus dan burung dodo. Jika jomlo sudah punah, saya yakin banyak museum yang tertarik untuk menyimpan koleksi yang berbau jomlo. Mie instan, tisu, serta air mata, misalnya. Bahkan, bisa saja ada museum yang mengabadikan fosil jomlo purbakala atau fosil homo jomblonicus.
 
Episode Nine

Sebastian membantu Anne dengan kemampuan teknologinya. Dixon disidang oleh Dinas Pendidikan. Steph Sullivan mendatangi kediaman Anne dan memohon untuk tidak mencatut nama anaknya pada kasus Taylor. Eric Tanner bertemu kembali dengan adik dan ibunya. Kevin bertengkar dengan rekan satu timnya.

American Crime akan memasuki episode pamungkasnya. Sebagian klimaks sudah mulai dimunculkan pada Episode Nine. Salah satunya adalah reaksi Chris Dixon, kepala sekolah negeri tempat Taylor belajar. Selain itu, beberapa masalah sudah sedikit menampakkan titik terang. Emosi penonton kembali digali saat adegan-adegan yang menampilkan setiap karakter dan kesedihannya masing-masing. Ekspresi sebagian besar tokohnya juga tidak terkesan berlebihan dan cukup mengundang simpati bagi penonton.

Episode kesembilan ini banyak membahas perjuangan orang tua yang membela sang anak meskipun anak itu bersalah. Ketika anak mencuri mangga, misalnya. Pasti ada sebagian orang tua yang membela lewat berbagai cara. Pura-pura tidak tahu, pura-pura berubah jadi pohon mangga, bahkan pura-pura berubah jadi mangga. Seperti kata pepatah, batu akik tidak jatuh jauh dari embannya, sesungguhnya sifat anak adalah cerminan sifat orang tua. Jika sang ayah adalah musisi sombong yang kini menjadi wakil walikota dengan Harley Davidson segudang dan cincin akik di sepuluh jari, hampir pasti buah hatinya menjadi pribadi yang sombong pula, dengan cincin akik di sepuluh jari, namun tanpa Harley Davidson karena kakinya masih terlalu pendek untuk menginjak rem motor Harley, kecuali dia mau dan mampu menaiki Harley tanpa menginjak rem. Semoga dia selamat walau tidak mengerem sama sekali.


Episode Ten

Setelah mengudara selama sepuluh pekan atau dua bulan lebih, American Crime musim kedua telah mencapai episode terakhir. Secara keseluruhan, season kedua lebih seru dan lebih “menyentil” dibanding musim pendahulunya. Keluarga, rasisme, kesetiaan, kejujuran, hingga institusi pendidikan dikritisi melalui peceritaan menarik diiringi karakter yang kuat dan naskah tajam.

Taylor memberi keputusan terkait persidangannya. Becca Sullivan, putri Dan Sullivan, ditangkap akibat kasus penjualan narkotika. Sebastian dikagetkan oleh peretas lain. Tante Leslie Graham, tante-tante kepala sekolah Leyland mengalami masa terberat dalam hidupnya. Kevin dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan.

Sebagai episode penutup, Episode Ten banyak diisi konklusi-konklusi cerita yang tidak terlalu mengejutkan namun tetap menarik untuk diikuti sampai tuntas. Hadirnya tokoh Sebastian terkesan sedikit dipaksakan demi akhir serial yang menakjubkan dan meninggalkan perasaan kurang ikhlas pada penonton. Seperti ketika seorang perempuan berpacaran dengan laki-laki tampan namun tidak tahu nama sang pria, karakter Sebastian mirip dengan peristiwa itu. Penonton hanya mengenal Sebastian pada sepertiga akhir serial tanpa mengenal sosoknya lebih dalam. Sebastian seolah menjadi kunci dari episode terakhir tanpa penokohan yang kuat. Walaupun agak kurang pada karakter Sebastian, episode pamungkas American Crime tetap wajib ditonton karena akhir yang menegangkan sekaligus melegakan seperti permen Stensils pelega tenggorokan.

Seberapa baikkah Anda? Pertanyaan itu memang amat susah untuk dijawab. Saya sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Kalau boleh memilih, lebih baik saya diberi tanggung jawab untuk memakan petai dua kilogram setiap hari selama sebulan daripada harus menjawab pertanyaan di atas. American Crime Season 2 mengajak kita untuk merenungkan hidup dan mempertanyakan kebaikan sesama manusia karena terkadang sesuatu yang terlihat baik dari luar sebenarnya tidak baik jika dilihat lebih jeli. Seperti petai dua kilogram yang cukup nikmat tapi tidak baik untuk aroma mulut serta nafas konsumennya.

Share: 

3/10/2016

Dari Oscar 2016


Ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia paling bergengsi, Academy Awards atau Oscars, telah selesai diselenggarakan pada 28 Februari 2016. Bertempat di Dolby Theatre, banyak bintang besar Hollywood yang hadir. Leonardo DiCaprio, Michael Fassbender, Charlize Theron, Rachel McAdams dan Cate Blanchett merupakan beberapa di antara ribuan tamu yang hadir. Ada beberapa tamu unik yang hadir. Salah satunya J.K. Simmons. Sebelum mendapat Oscar tahun 2015 sebagai aktor pendukung terbaik, saya tidak tahu siapa J.K. Simmons itu. Bahkan, saya kira J.K. Simmons adalah nama samaran lain dari J.K. Rowling. Saya juga sempat mengira J.K. Simmons adalah adik dari Jusuf Kalla karena miripnya nama kedua individu tersebut. Selain J.K. Simmons, masih banyak keunikan dan kejutan-kejutan dari perhelatan Oscar tahun 2016. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
      
      1.    Kemenangan DiCaprio
Leonardo DiCaprio sudah 6 kali dinominasikan dalam Academy Awards (5 sebagai aktor dan satu sebagai produser), dan baru berhasil saat dinominasikan tahun 2016 lewat The Revenant. Saya tak bisa membayangkan perasaan DiCaprio saat gagal 5 kali. Gagal memenangnkan Oscar walau masuk nominasi berkali-kali itu sama sakitnya dengan seorang jomlo yang ditolak puluhan kali oleh pujaan hatinya. Jika itu terjadi pada diri saya, mungkin saya akan mengurung diri di dalam septic tank selama 7 hari 7 malam.

Ketika DiCaprio menghadiri seremoni Oscar 2016, dia mengajak ibunya. Kalau saya jadi ibunda dari Leonardo DiCaprio, mungkin saya akan memaksa Leo pensiun dari dunia akting karena selalu gagal memenangkan Oscar. Saya juga akan menyarankan Leo untuk alih profesi menjadi penyanyi dangdut. Toh, Leo sudah memiliki wajah rupawan yang merupakan modal terpenting pedangdut pria di Indonesia. Karena hanya ada dua kunci popularitas bagi setiap penyanyi dangdut pria di Indonesia : wajah tampan atau perilaku ngondek. Saya tidak tega melihat Leo bertransformasi menjadi pria ngondek seperti Nassar yang, jujur, membuat saya mual. Entahlah. Mungkin saya alergi Nassar seperti kebanyakan orang yang alergi pada kacang atau udang. Semoga suatu saat nanti Leonardo DiCaprio mau menyanyikan lagu dangdut macam Judi atau Sakitnya tuh di Sini.

      2.    Kesuksesan Spotlight
Sebelum pemenang kategori Best Picture diumumkan, banyak media internasional yang menjagokan The Revenant. Selain faktor Leonardo DiCaprio, sutradara Alejandro G. Innarritu juga berperan penting karena kesuksesannya melalui Birdman dan film-film sebelumnya. Namun, semua prediksi itu patah ketika Spotlight diumumkan sebagai pemenang Best Picture. Apa yang membuat Spotlight berhasil menyabet penghargaan tertinggi dunia perfilman itu? Ada beberapa jawaban yang mungkin bisa mengurangi rasa penasaran para pecinta film. Pertama, karena metode pemilihan. Khusus untuk menentukan pemenang nominasi Best Picture, Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS), organisasi penyelanggara Oscar, menggunakan preferential ballot yang diberikan pada 5.783 anggota. Jika ingin tahu lebih lanjut, silahkan baca di sini.

Kedua, karena tidak semua orang menyukai film seartistik The Revenant. Adegan DiCaprio sedang “diperkosa” beruang, makan hati bison mentah, dan mengobati dirinya dengan bara api bisa mengurangi kenyamanan bagi sebagian orang yang takut darah, kesadisan, atau phobia terhadap hati bison. Adegan Hugh Glass, karakter yang diperankan DiCaprio sedang bermesraan dengan istrinya juga berpotensi menyakiti hati perempuan jomlo penggemar berat Leonardo DiCaprio. Hamparan hutan salju dan panorama yang menyejukkan mata selama dua setengah jam film berlangsung memang cukup membantu alur cerita. Namun, saya sempat dibuat bosan. Karena itulah saya terpaksa menekan tombol pause dan pergi mendengarkan lagu dangdut yang dinyanyikan seorang pria yang kasus pencabulannya dapat menggetarkan dunia. Saya yakin gempa beberapa waktu lalu adalah akibat dari Saiful Jamil yang terlalu sering bergoyang.

Ketiga, karena Rachel McAdams lebih menarik dari Leonardo DiCaprio. Hampir tidak ada manusia di dunia ini yang meragukan ketampanan DiCaprio. Sama dengan McAdams yang tidak perlu dipertanyakan lagi kecantikannya. Kualitas akting keduanya juga sangat mumpuni. Dua nominasi Oscar tahun 2016 untuk peran masing-masing adalah salah satu buktinya.

Namun, peran DiCaprio bisa dibilang lebih berat dari McAdams. Terjebak di hutan salju dengan luka parah di sekujur tubuh bukan kondisi yang wajar bagi sebagian besar orang. Sedangkan McAdams “hanya” berperan sebagai jurnalis yang mewawancarai korban pelecehan sekaligus menjadi pendengar yang baik. Bagi sebagian orang (terutama kaum pria), McAdams dan personanya lebih menyentuh hati daripada DiCaprio dan hati bison mentahnya. Semua orang ingin didengarkan suaranya, tapi hampir tidak ada yang mau digigit dan dicabik-cabik oleh beruang grizzly. Banyak manusia yang suka akan keburukan sistem yang terkuak. Hampir tidak ada manusia yang ingin mencoba hati bison mentah. Saran saya, jika ada kesempatan kedua bagi The Revenant untuk menggondol Oscar, lebih baik beruang raksasa yang menyerang Leonardo DiCaprio diganti saja dengan Rachel McAdams yang kelaparan dan sangat ingin mencakar dan menggigit DiCaprio sampai dia terluka parah dan McAdams pergi dengan perut kenyang. Pasti akan lebih seru dan menegangkan.
 
Senyum McAdams Mengalihkan Dunia.

      3.    Dominasi Kulit Putih
Seluruh film yang dinominasikan dalam Best Picture terlalu banyak diisi pemeran-pemeran kulit putih. Bahkan, Spotlight yang memperoleh piala film terbaik tidak menyertakan pemain film non kulit putih. Setali tiga uang dengan Spotlight, kandidat film terbaik lain seperti The Big Short, Bridge of Spies, dan Brooklyn tidak memasukkan aktor dan aktris kulit hitam, coklat, merah, kuning, atau abu-abu ke dalam cast film. Apakah para pekerja seni pada film-film di atas rasis? Bisa jadi. Satu hal yang jelas, para aktor kulit hitam, Hispanik dan Asia kurang diberi kesempatan berkarya di industri Hollywood. Peluang yang lebih besar, bahkan kelewat besar tetap dimiliki kaum kulit putih. Jalan satu-satunya agar lebih diakui oleh Hollywood adalah mengganti warna kulit atau memutihkan kulit. Michael Jackson, contohnya. Selain itu, sineas kulit hitam mungkin bisa membuat industri sendiri sebagai tandingan dari Hollywood dan khusus bekerja sama dengan seniman kulit hitam. Mungkin industri tersebut nantinya bernama Blackywood.

Itulah beberapa kejutan dan keunikan penghargaan Oscar tahun 2016. Semoga Hollywood bisa mengambil hikmah dari penyelenggaraan Oscar tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya agar kualitas perfilman semakin baik dan semoga Leonardo DiCaprio bisa lebih peduli kepada para perempuan jomlo yang terlalu menggemari dirinya.


Share: