Darah, tulang patah, kulit sobek, sampai kepala pecah adalah
sebagian dari ciri khas The Mo Brothers dalam memvisualisasi karyanya. Setiap
adegan kejar-kejaran atau baku hantam selalu menghadirkan kesadisan maksimal.
Duet dengan nama asli Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel itu juga suka
mengadaptasi teknik film horror atau slasher
jepang yang total dan sedikit absurd. Skenario yang cukup baik dapat
mengimbangi aspek brutal yang terlihat pada Ruma
Dara dan Killers, karya kedua
saudara itu sebelumnya. Dibintangi
oleh Iko Uwais, salah satu aktor laga terpopuler Indonesia saat ini, mampukah Headshot mengimbangi atau bahkan tampil
lebih baik dari karya Timo dan Kimo terdahulu?
Ishmael (Iko Uwais) terbangun dari koma akibat peluru yang
menancap di dalam otaknya. Ailin (Chelsea Islan), dokter yang merawat Ishmael,
ikut bahagia melihat pasiennya kembali pulih meski sang pasien hilang ingatan.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena gangguan dari gerombolan
kriminal kakap pimpinan Lee (Sunny Pang) yang menginginkan nyawa Ishmael.
Dirawat, jatuh cinta, terpaksa berjuang demi cintanya, lalu
berakhir bahagia. Sudah terlalu banyak FTV dan sinetron yang memakai pola
tersebut. Sayangnya, Headshot menggunakan
pola serupa meski dibumbui adegan laga berdarah-darah. Jika seluruh scene perkelahian dan pertarungan
dihapus, akan muncul kisah cinta lebay ala
FTV dengan judul Preman Baik dan Dokter
Cantik atau Pacarku Pembunuh
Professional. Akting Iko Uwais sedikit menyelamatkan adegan drama
percintaan dalam Headshot. Bersama
Chelsea Islan, hubungan keduanya tidak terasa seperti Aliando-Prilly dalam
sinetron tentang serigala yang sudah bubar itu. Kedekatan keduanya juga terasa
natural. Berbeda jauh dengan Citra Kirana-Andi Arsyil dalam sinetron yang juga
sudah berakhir itu. Khusus untuk Chelsea, ia masih terlihat canggung beradu
peran dengan Iko, walau masih enak ditonton.
Adegan laga benar-benar menjadi penyelamat bagi Headshot. Saya hampir saja meninggalkan
tempat saya duduk dan berkhidmat ke toilet untuk membuang hajat yang telah lama
disimpan. Namun, niat itu saya urungkan setelah melihat Ishmael beradu jotos
dengan Rika (Julie Estelle). Keduanya total mengerahkan seluruh kemampuan
aktingnya demi adegan yang tidak sampai 15 menit. Julie Estelle berperan cukup
baik sebagai pembunuh, namun masih lebih garang ketika ia memerankan gadis
berpalu di The Raid 2.
Mo Brothers memang ahlinya kesadisan dan ketegangan. Bahkan,
ketika skenario yang ditulis oleh Timo Tjahjanto terasa standar dan mudah
ditebak, suasana tegang yang diberikan masih mampu menolong dan menambal segala
kekurangan pada aspek penulisan. Saya yakin, jika kualitas film-film mereka
semakin meningkat, bukan tidak mungkin Mo bersaudara sanggup menembus box office Hollywood dan menjadi
sutradara film aksi tersukses di Indonesia, lalu salah satu dari mereka
mencalonkan diri menjadi presiden dan memenangkannya. Pasti Indonesia akan sangat menegangkan dan dipenuhi baku hantam
serta tulang remuk. Sama seperti Indonesia di rezim ayah Pangarep yang
berkualitas rendah, serendah produk buatan Tiongkok