5/27/2017

Resensi Film Headshot (2016)


Darah, tulang patah, kulit sobek, sampai kepala pecah adalah sebagian dari ciri khas The Mo Brothers dalam memvisualisasi karyanya. Setiap adegan kejar-kejaran atau baku hantam selalu menghadirkan kesadisan maksimal. Duet dengan nama asli Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel itu juga suka mengadaptasi teknik film horror atau slasher jepang yang total dan sedikit absurd. Skenario yang cukup baik dapat mengimbangi aspek brutal yang terlihat pada Ruma Dara dan Killers, karya kedua saudara itu sebelumnya. Dibintangi oleh Iko Uwais, salah satu aktor laga terpopuler Indonesia saat ini, mampukah Headshot mengimbangi atau bahkan tampil lebih baik dari karya Timo dan Kimo terdahulu?

Ishmael (Iko Uwais) terbangun dari koma akibat peluru yang menancap di dalam otaknya. Ailin (Chelsea Islan), dokter yang merawat Ishmael, ikut bahagia melihat pasiennya kembali pulih meski sang pasien hilang ingatan. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena gangguan dari gerombolan kriminal kakap pimpinan Lee (Sunny Pang) yang menginginkan nyawa Ishmael.


Dirawat, jatuh cinta, terpaksa berjuang demi cintanya, lalu berakhir bahagia. Sudah terlalu banyak FTV dan sinetron yang memakai pola tersebut. Sayangnya, Headshot menggunakan pola serupa meski dibumbui adegan laga berdarah-darah. Jika seluruh scene perkelahian dan pertarungan dihapus, akan muncul kisah cinta lebay ala FTV dengan judul Preman Baik dan Dokter Cantik atau Pacarku Pembunuh Professional. Akting Iko Uwais sedikit menyelamatkan adegan drama percintaan dalam Headshot. Bersama Chelsea Islan, hubungan keduanya tidak terasa seperti Aliando-Prilly dalam sinetron tentang serigala yang sudah bubar itu. Kedekatan keduanya juga terasa natural. Berbeda jauh dengan Citra Kirana-Andi Arsyil dalam sinetron yang juga sudah berakhir itu. Khusus untuk Chelsea, ia masih terlihat canggung beradu peran dengan Iko, walau masih enak ditonton.


Adegan laga benar-benar menjadi penyelamat bagi Headshot. Saya hampir saja meninggalkan tempat saya duduk dan berkhidmat ke toilet untuk membuang hajat yang telah lama disimpan. Namun, niat itu saya urungkan setelah melihat Ishmael beradu jotos dengan Rika (Julie Estelle). Keduanya total mengerahkan seluruh kemampuan aktingnya demi adegan yang tidak sampai 15 menit. Julie Estelle berperan cukup baik sebagai pembunuh, namun masih lebih garang ketika ia memerankan gadis berpalu di The Raid 2.

Mo Brothers memang ahlinya kesadisan dan ketegangan. Bahkan, ketika skenario yang ditulis oleh Timo Tjahjanto terasa standar dan mudah ditebak, suasana tegang yang diberikan masih mampu menolong dan menambal segala kekurangan pada aspek penulisan. Saya yakin, jika kualitas film-film mereka semakin meningkat, bukan tidak mungkin Mo bersaudara sanggup menembus box office Hollywood dan menjadi sutradara film aksi tersukses di Indonesia, lalu salah satu dari mereka mencalonkan diri menjadi presiden dan memenangkannya. Pasti Indonesia akan  sangat menegangkan dan dipenuhi baku hantam serta tulang remuk. Sama seperti Indonesia di rezim ayah Pangarep yang berkualitas rendah, serendah produk buatan Tiongkok



Share: 

5/18/2017

Resensi Film Get Out (2017)


Kehidupan masyarakat kulit hitam masih menjadi tema yang seksi untuk diangkat ke dalam karya layar lebar. Moonlight dan Fences adalah contoh kisah orang kulit hitam yang sukses menembus nominasi Oscar 2017. Moonlight bahkan dinobatkan sebagai film terbaik di ajang tersebut. Masih banyak karya tentang individu kulit hitam lainnya yang populer di tahun 2017. Get Out salah satunya. Disutradarai oleh Jordan Peele, salah satu komedian kulit hitam yang sedang naik daun dalam beberapa tahun terakhir berkat program sketsa komedi televisi yang dibintanginya bersama Keegan- Michael Key. “Hanya” menghabiskan bujet USD 4,5 juta, Get Out meraup USD 194,9 juta hingga bulan Mei 2017. Pemasukan sebanyak itu menahbiskan namanya pada sejarah perfilman Holllywood sebagai film debut dengan skenario original berpenghasilan terbesar, mengalahkan rekor 18 tahun yang dipegang The Blair Witch Project.

Chris Washington (Daniel Kaluuya), mengunjungi rumah calon mertuanya bersama sang kekasih, Rose Armitage (Allison Williams). Keluarga Armitage mempekerjakan dua orang kulit hitam berperilaku aneh, Georgina (Betty Gabriel) dan Walter (Marcus Henderson). Chris memiliki firasat buruk terhadap apa yang terjadi dalam keluarga Armitage. Ia berusaha mencari tahu tentang keluarga tersebut dibantu oleh sahabatnya yang konyol, Rod Williams (Lil Rel Howery).


Tidak banyak film komedi horror yang sukses memadukan ketegangan dan kejenakaan. Get Out termasuk salah satu yang amat baik dalam menampilkan keduanya. Dialog-dialog cerdas namun menggelitik seperti “My dad is not racist, he would vote for Obama if he can run again as a president.” Atau “They are going to use you as a sex slave!” mewarnai 103 menit film tersebut. Kelucuan yang timbul juga tidak dipaksakan seperti kebanyakan film komedi horror. Daniel Kaluuya juga sukses memerankan tokoh Chris yang cerdas dan jeli. Wajah Kaluuya sebagai Chris cukup mirip dengan wajah pria yang mencari pasangan di Tinder namun selalu gagal karena tidak ada wanita yang menyukai wajah sang lelaki.

Get Out mengangkat isu perbedaan dengan cara yang unik. Hampir semua karakter kulit putih yang muncul tidak seperti orang rasis kebanyakan dan membenci orang kulit hitam seperti jamur membenci Kalpanax atau seperti para pendukung calon gubernur yang gagal move on sehingga terus-menerus menyalahkan umat islam yang religius dan menganggap mereka adalah biang kegagalan sang calon gubernur gila. Sebagian besar dari mereka malah memuji orang-orang kulit hitam dan menganggap orang-orang kulit hitam sebagai makhluk yang sedang hits dan kuat. Namun, di balik pujian itu, mereka tidak peduli dengan perasaan orang-orang kulit hitam.

Get Out sangat cocok ditonton bersama pasangan. Apalagi bagi pasangan yang akan bertemu calon mertua masing-masing. Lebih baik lagi jika para pasangan yang menonton mau mengajak orang-orang jomblo untuk ikut menikmati karya Jordan Peele itu. Karena sebagian besar makhluk jomblo kurang mendapat hiburan kecuali ada yang mau membantu menghiburnya.



Jordan Peele benar-benar sukses mengeksplorasi komedi dalam horror dan isu rasisme yang sedang hangat-hangatnya. Peele berpotensi menjadi sutradara kulit hitam berprestasi namun tetap populer, kehebatannya bahkan bisa menandingi F.Gary Gray atau Spike Lee yang sudah malang melintang selama puluhan tahun di industri film. Saking lamanya menjadi sutradara,  wajah Spike Lee kini terlihat seperti kertas skenario kusut.

Share: 

5/04/2017

Resensi 13 Reasons Why? Season 1 (2017)


Bunuh diri adalah salah satu topik yang amat jarang diangkat ke dalam karya televisi. 13 Reasons Why? Termasuk salah satu serial televisi yang berani mengangkat kisah bunuh diri lewat pendekatan remaja. Hasil adaptasi novel berjudul sama karya Jay Asher itu disutradarai oleh nama-nama mentereng di Hollywood seperti Tom McCarthy yang pernah menakhkodai Spotlight dan Greg Arakki yang pernah menggarap Mysterious Skin. Di kursi produser eksekutif, ada Selena Gomez dan produser kawakan Steve Golin yang tangan dinginnya terlibat dalam produksi Spotlight, The Revenant dan True Detective.

Clay Jensen (Dylan Minnette) mendapat paket berisi rekaman suara Hannah Baker (Katharine Langford), teman sekolahnya yang baru saja meninggal akibat bunuh diri. Rekaman tersebut berisi 13 alasan Hannah bunuh diri. Clay harus menguak fakta tidak menyenangkan tentang teman-teman sekolahnya sekaligus bertindak demi keadilan untuk Hannah. Clay juga terpaksa menyembunyikan rekaman suara itu dari orang tuanya.


Tidak ada bunuh diri yang menyenangkan. Pesan tersebut disisipkan sepanjang 13 episode 13 Reasons Why?. Hannah yang frustasi digambarkan sangat apik dengan tata rias khas korban depresi. Tangisan-tangisan Hannah, keterkejutannya saat dikuntit, hingga canda tawanya bersama Clay benar-benar merasuk ke dalam emosi penonton namun tidak sampai masuk taraf lebay seperti sinetron-sinetron yang suka bicara sendiri dan tangis buatan hasil olesan bawang.

Karakter yang konsisten adalah kunci dari kualitas semua karya seni. 13 Reasons Why? Menampilkan kekuatan tersebut pada tiap episodenya. Clay yang pendiam namun humoris, Hannah yang depresif, Tony (Christian Navarro) yang selalu ingin membantu, hingga Zach (Ross Butler) yang berhati baik namun kurang tegas terhadap keburukan di sekitarnya. Tidak ada karakter yang terlalu menonjol dan dibuat bak dewa super baik atau iblis ekstra jahat. Semuanya wajar dan realistis. Sejahat-jahatnya Justin Foley (Brandon Flynn), dia masih sangat peduli terhadap sang kekasih dan membelanya saat ia disakiti. Clay juga bukan anak baik yang selalu patuh terhadap orangtuanya, meski dia yang paling getol membela Hannah pasca kematiannya. Berbeda dengan sinetron Indonesia yang hanya bisa menampilkan ekspresi jahat pada karakter jahat, ekspresi baik pada karakter baik, atau ekspresi kebelet pada karakter yang beser.


13 Reasons Why? Bisa dikategorikan sebagai salah satu serial drama terbaik yang dipersembahkan Netflix. Cukup banyak karya original Netflix yang berkualitas, 13 Reasons Why? masih bisa menonjol di antara karya-karya tersebut. Seperti bibir di wajah Tukul Arwana, atau kelicikan di wajah Setya Novanto. Keberanian 13 Reasons Why? patut diacungi jempol dalam mengangkat isu-isu sensitif seperti bunuh diri, kehidupan penyuka sesama jenis, sampai kekerasan dalam rumah tangga. Aktor dan aktris yang beragam dan multi etnis juga termasuk salah satu kenggulan serial yang dirilis pada 31 Maret 2017 itu. Bahkan, ada salah satu aktor keturunan Indonesia yang cukup banyak berperan. Ross Butler, nama aktor tersebut, memiliki darah Tionghoa Indonesia dari sang ibu. Butler menjadi salah satu bukti jika keturunan Tionghoa Indonesia bisa berprestasi, tidak hanya mengumpat dan menghujat seperti Gubernur DKI Jakarta yang baru saja kalah dalam pemilihan umum.


13 Reasons Why? memang bukan Master of None yang hadir hampir tanpa celah dan menjadi serial masterpiece dari Netflix. Namun, gabungan antara misteri dan drama yang mengikat emosi penonton ditambah karakter yang konsisten serta realistis sudah cukup menjadi bekal 13 Reasons Why? untuk dikenang sebagai salah satu serial drama misteri remaja terbaik sepanjang masa.



Share: