10/29/2016

Resensi Film In a Valley of Violence (2016)


Setelah era John Wayne dan Clint Eastwood, genre film western semakin ditinggalkan. Tiap tahun, bisa dihitung dengan jari jumlah film western yang diproduksi dan ditayangkan pada layar lebar. The Revenant, The Hateful Eight dan Magnificent Seven adalah sebagian dari film western yang telah dirilis tahun 2016. Ti West, sutradara yang populer di bidang horror dan thriller, mencoba peruntungannya dalam genre western lewat In a Valley of Violence. Dibintangi oleh sederet aktor dan aktris kondang seperti John Travolta, Ethan Hawke, dan Taissa Farmiga serta diproduseri oleh Jason Blum yang pernah membidani beberapa film ternama seperti Paranormal Activity, Sinister, dan Insidious, ekspektasi penggemar berat film bertema koboi cukup tinggi untuk film berbujet cukup rendah ini.


Paul (Ethan Hawke) dan Anjingnya, Abbie, sedang mengembara menuju Meksiko. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu dengan pastor mabuk (Burn Gorman) yang sedang meminta pertolongan. Sang pastor menunjukkan jalan ke meksiko melalui sebuah kota kecil bernama Denton. Sesampainya di Denton, Paul dan Abbie bertemu dengan Gilly (James Ransone), pria arogan yang juga anak dari Marshal Clyde Martin (John Travolta). Dalam masa singgahnya di Denton, Paul banyak dibantu oleh Mary-Anne (Taissa Farmiga), pengelola motel sekaligus calon adik ipar Gilly. Banyak masalah menimpa Paul dan Abbie akibat ulah Gilly dan kawan-kawannya.

Film-film western memang tidak mudah dieksplorasi dalam bidang penceritaan. Kehidupan keras dunia koboi, percintaan sang tokoh dengan perempuan di kota yang sama, duel pistol demi kehormatan, hingga karakter mabuk yang sering mendukung peredaran bir saat menjadi gubernur merupakan sebagian besar kisah yang melatarbelakangi sinema western. Latar tempat yang dipakai juga banyak memiliki kesamaan antara satu film dengan film lainnya. In a Valley of Violence berpotensi jatuh ke lubang kebosanan seperti hasil karya western yang lain. Untungnya, akting Ethan Hawke beserta para pemeran pendukung sukses menghidupkan suasana tegang sekaligus mengasyikkan. Sosok seorang Paul memang bukanlah protagonis tanpa cacat. Masa lalunya yang kelam dan kondisinya kini memaksa dia menjadi pria yang kasar dan tanpa ampun. John Travolta sebagai ayah yang menyayangi putranya namun terlalu memanjakan berpadu apik dengan karakter Paul, dan Gilly yang menyebalkan namun bodoh. Penokohan Gilly dalam In a Valley of Violence  mengingatkan saya pada sosok lelaki pengecut namun arogan yang suka menindas rakyat kecil dan menistakan agama lain. Sayangnya, Gilly bukan koboi dari pesisir Belitung.


Seperti beberapa film western terdahulu, In a Valley of Violence menambahkan bumbu komedi pada setiap aksinya. Tidak selalu berhasil, memang. Tapi, jika sekedar memancing tawa kecil, dialog-dialog jenaka dari Marshal, Paul, dan kawan-kawan Gilly cukup baik dalam menjalankan tugasnya. Kalimat-kalimat seperti “Tubby is not my real name, I’m Lawrence.” atau “ I will call you whatever you want, but please, stay out of the goddamn window.” membuat saya mengembangkan senyum dan sedikit tertawa. Komedi dalam  In a Valley of Violence agak mirip dengan canda dari calon gubernur petahana DKI 2017: tidak selalu lucu dan cukup menyebalkan bagi orang lain.


Patut disayangkan, In a Valley of Violence mengakhiri kisahnya terlalu klise. Adegan tembak-menembak di akhir cerita memang cukup menegangkan dan bisa dinikmati, namun setelah itu, tidak banyak perbedaan dengan sesama film koboi yang sudah-sudah. Endingnya mudah ditebak dan tidak memberikan kejutan bagi penonton. Semoga Pilkada DKI tahun 2017 memberikan kejutan yang menggembirakan bagi publik Jakarta. Bukan kejutan yang menyengsarakan, seperti terpilihnya incumbent untuk periode kedua, contohnya.


Share: 

0 komentar:

Posting Komentar