1/31/2016

Resensi Film The Ridiculous 6 (2015)


Chief Content Officer Netflix, Ted Sarandos, mengungkapkan bahwa film The Ridiculous 6 yang diproduseri Adam Sandler dan tayang eksklusif untuk Netflix mencetak rekor penayangan terbanyak selama 30 hari pertama film itu dirilis. Sehebat apa The Ridiculous 6? Apakah film tersebut begitu bagus secara kualitas hingga banyak menarik minat penonton? Atau karena film itu terlalu jelek dan membuat banyak orang penasaran dengan keburukannya? Saya akan membahasnya nanti, yang jelas, dalam film ini tidak ada om-om bau keringat terjun ke sungai tanpa busana dan rusa yang buang air kecil sembarangan seperti adegan pada  Grown Ups 2.

Tommy Stockburn (Adam Sandler), seorang ahli pisau yang dibesarkan di keluarga Indian tanpa tahu siapa ayah kandungnya. sampai suatu ketika perampok bank professional bernama Frank Stockburn (Nick Nolte) mendatangi tempat tinggal Tommy, mengaku sebagai ayah kandungnya dan menginap semalam di sana. Pagi harinya, sekelompok bandit datang ke desa Indian dan menculik Frank dengan tebusan USD 50.000. Tommy berkelana untuk membebaskan ayahnya. Sepanjang perjalanan, Tommy bertemu 5 orang putra Frank dari ibu yang berbeda-beda, Chico (Terry Crews), Herm (Jorge Garcia), Lil’ Pete (Taylor Lautner), Ramon (Rob Schneider), dan Danny (Luke Wilson). Keenam putra Frank berpetualang bersama demi membebaskan sang ayah.



Jika dilihat dari sinopsis di atas, The Ridiculous 6 terlihat seperti kisah penculikan biasa. Dugaan itu benar. Penculikan dan petualangan dalam durasi 119 menit sama persis dengan peculikan ala FTV berkualitas rendah. Bedanya hanya pada usia korban penculikan. Biasanya, FTV menampilkan seorang anak kecil lucu, imut, tak berdosa, rajin belajar, patuh orang tua, jujur, terampil, setia, murah senyum, hampir tidak pernah mengupil (hampir semua tayangan FTV tidak pernah memperlihatkan orang mengupil. Padahal itu manusiawi dan anak kecil biasanya hobi mengorek-orek hidung.) diculik oleh berandalan berwajah konyol dengan jaket kulit lusuh, wajah pas-pasan, memakai celana denim tak terawat, berkulit gelap, dan jarang mandi. Saya rasa ciri-ciri di atas mirip dengan diri saya.

Seperti film produksi Adam Sandler yang lain, The Ridiculous 6 Terlalu banyak mengekspos kebodohan dan Kebodohan-kebodohan yang ditampilkan cenderung mengganggu dan sukses mengurangi kadar kelucuan. Adam Sandler dengan penampilannya yang terlihat seperti Nicholas Saputra sedang terserang muntaber dan penuaan dini memperburuk kualitas film. Saya cukup mengapresiasi akting Nick Nolte sebagai kakek-kakek nakal. Kehadirannya dapat menutupi kekurangan pemeran-pemeran lain.



Sepanjang film, saya hanya tertawa satu kali ketika adegan pencurian emas. Selebihnya, saya tidak terpikat dengan segala aspek kebodohan dan kekonyolan ala Adam Sandler. Taylor Lautner sebagai petani culun juga telah melanggar kaidah keculunan. Karena seorang culun harusnya tidak ganteng. Sedangkan Lautner masih terlihat tampan walau karakternya culun.


Jika Anda penggemar berat Adam Sandler, The Ridiculous 6 wajib Anda saksikan karena semua bagian dalam film ini merupakan akumulasi dari kebodohan, kekonyolan, absurditas, dan keanehan film-film Sandler. Saya yakin, untuk memnonton film ini perlu tingkat kebodohan yang luar biasa. Saya termasuk yang sedikit terhibur. Karena saya sedikit bodoh.

Share: 

1/27/2016

Resensi Film Amy (2015)



Mana yang lebih buruk, seorang ayah yang meninggalkan keluarganya dan selingkuh dengan perempuan lain, atau seorang laki-laki nakal sekaligus suami yang menjerumuskan istrinya? Bagi saya, keduanya sama-sama buruk. Kedua individu itulah yang membuat Amy Winehouse masuk ke dalam lingkaran setan berupa obat-obatan terlarang dan minuman keras hingga menjadikannya sosok wanita depresi semi cabe-cabean.

Amy Winehouse tidak lahir dari keluarga ideal dan penuh kedamaian. Ayahnya, Mitchell Winehouse, berselingkuh dari ibu Amy ketika ia masih kecil dan jarang berada di dekat anak-istrinya. Pada usia belasan tahun, Amy sempat ketergantungan obat penenang. Mantan suaminya, Blake Fielder, pernah menginap di lembaga permasyarakatan. Amy juga pernah direhabilitasi akibat ketergantungan narkotika. Di samping berita negatif yang sering menerpa, Amy Winehouse sangat sukses lewat musik soul, jazz, dan RnB. Lima Grammy Awards tahun 2008 untuk album Back to Black membuktikan kehebatan Amy di bidang musik. Hingga kematiannya pada 23 Juli 2011, Amy Winehouse akan selalu dikenang berkat talentanya sebagai musisi dan masalah hidup yang sangat fenomenal.


Penonton diajak meresapi kehidupan sang bintang melalui video dan foto-foto Amy Winehouse sejak kecil sampai akhir hayatnya. Video Amy ketika berusia 14 tahun sedang menyanyi ditemani sahabatnya, Juliette Ashby benar-benar memukau karena sisi lain dari Amy Winehouse ada di dalam video itu. Seorang Amy Winehouse yang periang, aktif, murah senyum, dan tidak terlihat muram. Suara Amy juga terdengar unik dan amat merdu. Tidak seperti suara saya. Saya yakin, orang tuli yang mendengar saya menyanyi pasti langsung menutup telinganya dengan kapas super tebal.

Kehidupan cintanya dengan beberapa lelaki yang (kelihatannya) sama-sama nakal dan tidak tahu diri menimbulkan rasa penasaran. Seberapa parahnya mereka hingga seorang Amy Winehouse menjadi sangat liar dan tak terurus seperti bulu kaki saya.? Apakah mereka sebegitu nakalnya hingga Amy kecanduan narkotika dan minuman keras? Semua terjawab dalam durasi 123 menit. Beberapa kekasih Amy memang tidak banyak dibahas, namun itu tidak banyak mempengaruhi keutuhan film. Jika saja Amy masih hidup, Saya akan menyuruhnya untuk mendengarkan lagu “Mirasantika” karya Rhoma Irama karena lagu itu membuat sebagian kecil orang bertobat, sebagian besarnya masih terus mabuk-mabukan.



Asif Kapadia sebagai sutradara mampu menggiring penonton untuk tetap mengikuti kisah hidup Amy sekaligus menanamkan simpati pada dirinya. Kesundalan Amy bukan karena sifat dasarnya, itu adalah buah dari lingkungan kurang kondusif dalam keluarga serta orang-orang terdekatnya. Asif Kapadia seolah berteriak lantang melalui rekaman suara para saksi hidup agar publik tidak langsung menghakimi sosok Amy dan terus-menerus memberi stigma negatif. Di balik pribadi yang terlihat liar, Amy hanya wanita biasa yang bisa sedih, marah dan kecewa. Jiwanya rapuh karena lingkungan negatif menyeret Amy ke tingkat yang paling dalam dan publisitas berlebihan memperparah keadaan tersebut. Semoga karya-karya Amy dapat menginspirasi banyak orang, dan semoga Rhoma Irama menghasilkan karya yang lebih berkualitas.

Share: 

1/25/2016

Resensi Film Sicario (2015)



 Apa persamaan dari Angelina Jolie, Jennifer Lawrence, dan Emily Blunt? Ketiganya cantik dan sangat tangguh ketika berperan sebagai perempuan bersenjata. Siapapun laki-laki yang berhadapan dengan mereka, pasti akan merasa jatuh cinta pada ketangguhan ketiga bidadari Hollywood itu. Saya bahkan berharap bisa selalu melihat mereka menenteng senjata. Apalagi jika ada yang menyelipkan buku nikah di balik senjatanya dan terdapat foto saya berdampingan dengan salah satu dari ketiganya. Saya rasa angan-angan saya terlalu tinggi.

Sicario menjadi ajang pembuktian keperkasaan Emily Blunt. Berperan sebagai Kate Macer, agen FBI yang ditugaskan untuk membantu Matt Graver (Josh Brolin), menangkap pembunuh bayaran kartel narkoba Meksiko, Manuel Diaz. Dalam keberangkatan, Kate bertemu Alejandro Gillick (Benicio Del Toro), pria dingin rekan kerja Matt. Selama perjalanan dan penugasannya bersama Matt dan Alejandro, Kate menemukan banyak kejanggalan.


Jika Anda sudah menonton Prisoners (2013), yang sama-sama disutradarai Dennis Villeneuve,  alur Sicario mirip dengan film tersebut. Villeneuve membangun misteri sejak menit pertama. Karakter Kate, Matt, dan Alejandro punya daya tarik masing-masing yang membuat kemisteriusan dalam film terus terjaga sampai akhir. Sinematografi karya Roger Deakins mampu mempertebal kesan misterius dan sedikit mencekam. Awan kelabu di balik jasad-jasad manusia, kegelapan malam Kota Juarez, anak-anak bermain bola diiringi suara tembakan dan ledakan, masih banyak pemandangan-pemandangan indah sekaligus menegangkan yang mengajak penonton ikut masuk dalam kelamnya perbatasan Meksiko.

Narkoba sangat merusak moral bangsa. Karena narkoba, Andhika Kangen Band mendekam di jeruji besi, karena narkoba, selebriti pria digerebek bersama Wanda Hamidah,  narkoba juga menjadi penyebab terjadinya pemecatan massal pilot dan pramugari pesawat. Betapa rusaknya Indonesia karena narkoba. Patut diapresiasi rencana kepala BNN menempatkan buaya unuk menjaga lapas narkotika. Kalau bisa, tidak hanya buaya saja yang ditangkar di depan lapas, Harimau Sumatera, Badak Jawa, Jalak Bali, Gajah Sumatera, dan hewan-hewan lainnya perlu diberi tempat di kompleks lapas, sehingga lapas bisa mengelola suaka margasatwa secara independen. Bicara soal narkoba, Sicario menyelipkan pesan anti narkoba dengan tersirat tapi tetap mengena.


Pada beberapa bagian, tempo film terasa cukup lambat. Lambatnya tempo dapat dibayar dengan tuntas lewat karakter yang dibangun dengan matang dan terjaganya plot tanpa distraksi dari subplot yang mengganggu. Sinematografi Roger Deakins dan scoring Jóhann Jóhannsson sukses menyatu dan memperindah setiap momen. Nominasi Oscar 2016 memang pantas diraih keduanya.


Saya berharap, semoga buaya-buaya yang segera ditempatkan sebagai penjaga lapas narkotika bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa ada gangguan pihak-pihak lain yang mencoba menyuap mereka dengan uang, makanan, atau obat-obatan terlarang, dan semoga Emily Blunt mendapat lebih banyak kesempatan bermain di film laga agar saya bisa terus menyaksikan sosok keren dan cantiknya.

Share: 

1/21/2016

Resensi Film Cartel Land (2015)


Bang Napi selalu berkata, “Kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya. Tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah,” sedangkan Cita-Citata selalu memekikkan ungkapan “Sakitnya tuh disini” lalu, bagaimana jika kedua individu itu disatukan? Cartel Land bisa jadi salah satu jawaban.

Bukan, ini bukan film dokumenter tentang Bang Napi atau Cita-Citata. Bukan pula film mengenai makhluk setengah Bang Napi setengah Cita-Citata, apalagi jika Anda mengira film ini menceritakan Bang Napi yang tobat dan berubah menjadi Cita-Citata atau sebaliknya. Cartel Land murni membahas kegiatan kartel narkotika di Meksiko dan gerakan masyarakat melawan kartel. Dua organisasi masyarakat dari dua negara berbeda, Meksiko dan Amerika Serikat, dikupas tuntas dalam film berdurasi 100 menit ini. Autodefensa dan Arizona Border Recon, nama dua kelompok tersebut, mempertahankan tanah mereka dari serangan kartel candu. Autodefensa, kelompok anti kartel asal meksiko, telah berhasil menaklukkan puluhan kota yang sebelumnya dikuasai kartel. Musuh kedua kelompok itu bukan hanya kartel, masih ada aparat yang menganggap mereka sebagai ancaman. Bahkan Autodefensa sempat dikecam oleh Presiden Meksiko. Arizona Border Recon juga tak kalah miris. Eksistensinya diklaim sudah meresahkan warga, walau tujuan mereka sangat mulia.

Dibuka dengan kemunculan beberapa orang bersenjata dibalik pakaian tertutup dengan wajah bermasker, penonton bisa merasakan atmosfer kejahatan kartel sejak awal. Kecemasan warga sipil juga ditonjolkan melalui ekspresi yang direkam dari jarak dekat. Ketegangan dalam adegan penggerebekan tokoh kartel dapat dikemas dengan baik lewat pergerakan cepat kamera dan suara-suara hentakan kecil. Kekejaman kartel dipaparkan secara gamblang dalam foto-foto korban pembunuhan kartel.

Cartel Land fokus pada beberapa sudut pandang, itulah membuat film ini unik dan tidak membosankan. Autodefensa, Arizona Border Recon, produsen narkoika, sampai para korban kebengisan kartel sukses ditampilkan mendetail, meski pada akhirnya kisah Autodefensa yang paling dominan.

Cartel Land kurang memberi porsi untuk Arizona Border Recon. Padahal, banyak poin-poin yang bisa digali dari mereka. Aksi pemberantasan kartel hanya terlihat dari pihak Autodefensa. Akan lebih menarik jika Arizona Border Recon mendapat porsi tampil lebih banyak serta ikut terekam dalam pemberangusan kartel.

Sebagai film dokumenter, kritik menohok disematkan melalui ucapan yang terlontar dari pejuang anti kartel. Apa yang bisa diharapkan dari pemerintah kalau kejahatan dibiarkan tanpa solusi? Sebagian besar kritik yang dikemukakan sangat relevan dengan peristiwa di seluruh penjuru dunia. Termasuk Indonesia. Bom yang telah menewaskan warga negara tak berdosa, aliran sesat tumbuh subur, harga bahan pokok melonjak, angka perceraian nasional dan pemerkosaan naik drastis, hampir tidak ada yang bisa diharapkan, kecuali cucu presiden yang sebentar lagi lahir. Semoga saja kehadirannya membawa berkah. Saya juga berharap pada Cita-Citata agar segera mendapat jodoh yang baik, sebaik Bang Napi yang sudah tobat.

Saya tidak bisa membayangkan reaksi warga jika terjadi kekejian kartel obat-obatan di Indonesia. Ketika ada penggerebekan atau baku tembak, saya yakin warga akan sibuk ber-selfie ria, atau menggosipkan ketampanan polisi. Tidak hanya itu, sebagian besar penduduk sekitar pasti akan mengabadikan diri mereka melalui foto pasca peristiwa di lokasi kejadian, atau berfoto bersama sang polisi ganteng. Mudah-mudahan Indonesia aman dari kartel dan kejahatannya, agar para warganya tidak kecanduan berfoto. Waspadalah terhadap kejahatan, agar Anda tidak merasakan sakit di mana-mana.


Share: 

1/19/2016

Resensi American Crime Season 2 Episode 1&2


Jika saya sebelumnya menulis resensi dari Master of None langsung dalam satu season penuh, kali ini saya akan mencoba menulis resensi serial TV per episode. Serial yang saya pilih juga tidak sembarangan. American Crime, serial antologi pilihan saya, diganjar 10 nominasi Primetime Emmy Awards dan memenangi satu di antaranya. Golden Globe Awards 2016 menjadi ajang kejayaannya dengan tiga nominasi. Semua nominasi di atas adalah nominasi musim pertamanya. Karena season pertama yang menakjubkan dan membuat hati saya berdegup kencang sambil bergoyang dumang, saya putuskan untuk meresensi tiap episode pada musim kedua.

Episode One

Episode pertama diawali dengan suara telpon seorang wanita. “911, apa keluhan Anda?” “Saya tersedak batu akik.” “Maaf, kami tidak menerima poles akik.” “Saya tersedak, bukan mau poles akik” “Kami juga tidak menerima bedak untuk akik.” “Saya TERSEDAK!” Lalu keluarlah batu akik dari mulut wanita itu. Batu akik tersebut lantas berubah menjadi siluman batu akik. Beberapa kalimat yang saya tulis tadi bukan sinopsis asli episode pertama American Crime. Itu sebenarnya sinopsis film TV di stasiun yang suka menayangkan film laga tak jelas dan hanya mengandalkan ketampanan sang aktor dengan diselingi animasi naga yang lebih jelek dari gambaran anak SD.

American Crime dimulai dengan laporan telepon kepada 911 mengenai pemerkosaan. Ternyata itu adalah suara dari Anne Blaine (Lili Taylor), ibu dari Taylor Blaine (Connor Jessup), korban dari pemerkosaan tersebut. Sebelumnya Anne telah melaporkan kejadian ini pada Leslie Graham, tante-tante kepala sekolah yang diperankan oleh Felicity Huffman. Merasa tak puas dengan tanggapan tante kepala sekolah, Anne melaporkan pemerkosaan terhadap anaknya ke polisi. Pelaporan itu terjadi akibat foto-foto tidak senonoh Taylor yang tersebar di media sosial.

Selain peristiwa yang dialami Taylor, pelatih tim basket sekolah, Dan Sullivan (Timothy Hutton) sedang cemas karena putrinya yang bertindak bagaikan cabe-cabean kelas kakap. Sebagai episode pembuka, penonton bisa ikut terhanyut dalam gejolak emosi karakter-karakternya tanpa harus susah payah menerka jalan cerita. Karakter dan cerita terlihat sangat menyatu dan hampir tanpa celah. Walau ada beberapa adegan yang terlalu bertele-tele, salah satunya ketika Kevin, salah satu anggota tim basket sekolah, bermesraan dengan kekasihnya. Saya rasa itu hanya membuang-buang durasi dan membuat penonton kurang nyaman. Apalagi penonton jomblo seperti saya.


Episode Two

Taylor diperiksa oleh petugas medis. Anne mendatangi seorang detektif. Sama seperti tante kepala sekolah, tanggapan sang detektif tak bisa menyenangkan hati Anne. Dia langsung mencari cara lain untuk menegakkan keadilan bagi anaknya. Di sisi lain, Leslie Graham, tante-tante merangkap kepala sekolah, menggosok giginya.

Dalam episode ini, beberapa karakter mulai terlihat peranannya. Ibu Kevin dan Eric Tanner, wakil kapten tim basket, adalah beberapa di antaranya. Ibu Kevin digambarkan sebagai sosok pengatur berpengaruh. Saat hampir mencelakai orang karena kelalaian mengemudi, dia malah memfoto nomor polisi si korban dan melaporkannya hanya karena si korban marah padanya.

Episode kedua sedikit lebih kompleks dari episode sebelumnya, namun intensitas cerita dan emosi karakter masih terjaga. Salah satu aspek yang paling saya suka pada serial ini adalah sudut pengambilan gambar, dan episode ini merupakan yang terbaik untuk aspek tersebut. Ekspresi marah Taylor, kegelisahan ibunya, sampai adegan gosok gigi Leslie dapat terekam dengan indah. Lagi-lagi, episode ini membuat para jomblo kesal karena perlakuan Kevin yang membelanjakan USD 900 untuk kekasihnya. Kalau saja saya memiliki uang sebanyak itu, saya akan menampar wajah Kevin dengan uang saya.

Share: 

1/18/2016

Resensi Film The Good Dinosaur (2015)


Setelah Inside Out, Pixar merilis film keduanya di tahun 2015, The Good Dinosaur. Jika Inside Out berhasil membuat saya menangis sekaligus terhibur karena kualitas film yang begitu tinggi, harapan yang sama muncul untuk The Good Dinosaur. Sebelum menonton, saya harap film ini bisa seperti Mamah Dedeh, menghibur sekaligus memberi makna. Saya juga menggantungkan ekspektasi tinggi kepada para dinosaurus. Semoga seluruh dinosaurus yang tampil adalah dinosaurus terbaik dan mampu mengalahkan pesona Mamah Dedeh.

Arlo (Raymond Ochoa), seekor dinosaurus kecil, kurus, dan penakut. Henry (Jeffrey Wright) ayah Arlo, berusaha untuk menjadikan anaknya lebih berani, salah satunya dengan mengajak Arlo mengejar makhluk pencuri makanan dari lumbung jagung bersama-sama. Ketika mengejar si pencuri, tiba-tiba badai besar datang dan menewaskan ayah Arlo. Setelah kepergian sang ayah, beban keluarga Arlo semakin berat. Tanpa sengaja, Arlo bertemu dengan makhluk pencuri yang ternyata seorang anak laki-laki bernama Spot (Jack Bright). Arlo kembali mengejar sang pencuri. Namun, Arlo malah tersesat dan tak tahu jalan pulang. Karena saat itu belum ada GPS atau aplikasi ojek online, Arlo panik. Dalam kepanikannya, Spot datang untuk membantu.

Seperti biasa, Pixar sebagai studio animasi terkenal selalu memproduksi film-film dengan animasi sangat indah. Trilogi Toy Story, dua seri Cars, hingga Inside Out adalah beberapa film artistik dari studio yang didirikan oleh Steve Jobs dan kawan-kawan ini. The Good Dinosaur masih mempertahankan sisi artistik khas Pixar. Bahkan film garapan Peter Sohn ini terlihat jauh lebih indah dan realistis dibanding pendahulu-pendahulunya. Aliran sungai, jatuhnya dedaunan, pohon-pohon menari, tiupan angin, rumput yang bergoyang, batu kerikil nge-rap, semak-semak nge-beatbox, hampir seluruh objek terlihat begitu nyata, kecuali keluarga Arlo yang memang dibuat tidak serealistis objek lainnya agar lebih bisa dinikmati. Penonton pasti akan terpukau dengan segala keindahan visual yang ditampilkan The Good Dinosaur.

Walau menarik lewat visualisasi objek, alur ceritanya masih cukup mudah diprediksi dan kurang pendalaman emosi. Karakter Arlo memang sukses manarik perhatian lewat ketakutan dan keraguan dalam dirinya, namun itu masih belum cukup menyentuh emosi penonton, kecuali jika penontonnya kaum alay yang hobi menangis ketika bertemu boyband atau solois tampan yang mereka idolakan, atau penonton ibu-ibu yang sering menangis ketika menonton film TV kelas rendah. Adegan ketika Arlo dan Spot menceritakan kehidupan masing-masing sebenarnya cukup menyentuh, namun masih perlu eksplorasi karakter yang lebih agar momen tersebut bisa masuk ke hati penonton. 

Alur yang mudah tertebak dapat menjadi masalah tersendiri bagi sebagian besar film. Meski begitu, alur film ini berhasil dieksekusi dengan baik. Kesedihan Arlo, keberanian Spot, hingga bertemunya mereka berdua dengan berbagai macam makhluk membuat penonton tidak bosan dengan alurnya. Saya yang sangat hobi tidur saja tidak mengantuk sama sekali dengan hiburan yang disajikan The Good Dinosaur. Salah satunya karena kopi hitam yang saya minum sebelum menonton. 

Secara keseluruhan, film ini memang bukan film luar biasa seperti Inside Out. Namun masih bisa dinikmati dan sangat menghibur. Apakah film ini sesuai harapan saya? Tidak. Film ini masih belum bisa mengalahkan Mamah Dedeh sebagai hiburan bermakna. Mungkin salah satunya karena ketiadaan Aa’ Abdel dalam film. Selain itu, film ini tidak islami seperi Mamah Dedeh. Semua dinosaurus tidak menutup aurat, Spot juga tidak berhijab. 


Share: 

1/13/2016

Resensi Film Going Clear: Scientology and The Prison of Belief (2015)


Anda mungkin lebih dahulu mendengar tentang Scientology melalui aktor terkenal Hollywood seperti John Travolta dan Tom Cruise. Ketika Cruise bercerai dengan Katie Holmes, banyak kabar menyebutkan bahwa salah satu penyebab perceraian mereka adalah The Church of Scientology yang terlalu mengintervensi hidup Cruise, termasuk kehidupan keluarganya. Lantas, apakah sebenarnya Scientology itu? Menilik dari namanya, Science artinya ilmu pengetahuan. Jadi, Scientology adalah keilmu-pengetahuanan. Kira-kira begitu artinya. Berarti, jika berhubungan dengan ilmu pengetahuan, siapakah para penganutnya? Apakah para ilmuwan cerdas dengan rambut hampir punah dan kacamata super tebal setebal bedak cabe-cabean? Atau mungkin para peneliti benda-benda purbakala dengan gaya khas Indiana Jones dan jarang mandi? Going Clear: Scientology and The Prison of Belief mengupas semua tentang Scientology.

Dalam film karya sutradara Alex Gibney ini, terdapat banyak wawancara-wawancara dengan sejumlah mantan penganut Scientology. Beberapa di antaranya adalah sutradara kondang Paul Haggis dan Jason Beghe, aktor yang saya kenal lewat perannya sebagai Sersan Henry “Hank” Voight dalam serial Chicago P.D. Selain itu, ditunjukkan pula video-video dari arsip The Church of Scientology. Penonton juga diajak untuk mengenal lebih dalam sosok L. Ron Hubbard, pendiri Scientology. LRH-sapaan akrab Ron Hubbard-sebelumnya dikenal sebagai penulis karya fiksi ilmiah murah dan dibayar per kata. Tak jarang dia harus membanjiri mesin ketiknya dengan keringat berliter-liter karena kerasnya dia bekerja. Sama seperti saya yang berkeringat ketika menahan kentut dalam angkot penuh penumpang. Hingga suatu hari, menurut salah satu sumber, LRH memutuskan untuk menulis buku berjudul Dianetics dan membuat agama baru untuk mendapat keuntungan finansial.


Salah satu aspek yang paling disorot film hasil adaptasi dari buku karya Lawrence Wright ini adalah kekerasan yang dialami para penganut Scientology. Saya mengingat, salah satu kekerasan tersebut adalah hukuman membersihkan toilet ketika banyak orang berlalu-lalang memasuki toilet. Jujur, saya sangat miris mendengar hukuman itu. Saya saja setelah buang hajat merasa jijik ketika melihat hajat saya sendiri. Organisasi internasional Scientology juga sangat anti pajak sampai mereka harus menyatakan perang dengan IRS, lembaga perpajakan di Amerika Serikat. Saya sangat geli setelah mendengar tentang perang anti pajak itu. Jujur, saya termasuk orang yang tidak membayar pajak karena untuk diri sendiri saja saya tidak mampu mencukupi kebutuhan, apalagi membayar pajak.



Subjektifitas bisa menjadi suatu kekuatan jika penggunannya tepat. Alex Gibney termasuk salah satu sutradara yang menggunakan subjektifitas dengan sangat tepat. Jika Anda seorang pria single dalam jangka waktu cukup panjang (baca: jomblo akut), pasti banyak yang menilai kejombloan Anda dengan sangat subjektif. Sebagian orang akan mennggunjingkan kejombloan Anda dengan berbagai sudut pandang tidak objektif. Contohnya: “Si A itu cowok tapi lama banget ya, jadi jomblo. Jangan-jangan dia nggak suka cewek, tapi suka cowok.” “Eh, cewek yang tadi itu katanya jadi jomblo sejak bapaknya kelilit utang. Cuma cowok yang bisa bayar utang bapaknya aja yang bisa jadi pasangannya. Padahal dianya juga nggak cantik. Emang ada yang mau bayar utang buat dapet cewek nggak cantik?” “Cowok sebelah rumahku kemarin katanya ngadain syukuran, syukuran jomblo perak. Soalnya udah 25 tahun jomblo. Katanya sih, dia jomblo gara-gara kerjanya serabutan. Terus wajahnya juga tidak layak pakai. Makanya sampai jomblo perak.” Masih ada banyak gosip subjektif lainnya yang mendiskreditkan kaum jomblo.



Subjektifitas Alex Gibney kurang lebih sama dengan masalah jomblo di atas, tapi lebih kuat karena diiringi dengan berbagai data-data dan rekaman pengakuan mantan anggota Organisasi Internasional Scientology. Penyiksaan anggota, kegilaan L. Ron Hubbard, pengemplangan pajak, semuanya dibahas dengan subjektifitas maksimal dan membuat film ini semakin menarik. Sebagai film dokumenter, Going Clear dapat memberi pencerahan tentang Scientology. Di sisi lain, subjektifitas yang ditampilkan mampu memperkuat segala aspek dalam film tanpa harus memaksakan diri untuk menjadi objektif.


Share: 

1/11/2016

Resensi Film The Look of Silence (2014)



Peristiwa tahun 1965 selalu menjadi topik yang menarik dan tak akan habis untuk dibahas. Kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi pasa masa tersebut memang memiliki daya tarik tersendiri. Joshua Oppenheimer, sineas asal Amerika Serikat, membuka kembali tragedi pada masa tersebut lewat dua film dokumenternya, The Act of Killing dan The Look of Silence. The Act of Killing bahkan sukses mendapat nominasi Oscar tahun 2014 dalam kategori film dokumenter terbaik. Kali ini, saya akan membahas film kedua Oppenheimer tentang peristiwa 1965, The Look of Silence, atau Senyap dalam versi judul Bahasa Indonesia.

Adi, seorang pria paro baya yang kemungkinan berprofesi sebagai penjual kacamata karena hampir selalu membawa kacamata, adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian di Sumatera Utara karena dituding ikut dalam kegiatan komunis. Puluhan tahun setelah peristiwa tersebut, Adi lantas mengunjungi satu-persatu para pelaku pembantaian. Tidak hanya itu, Adi juga melakukan napak tilas bersama salah satu korban yang masih hidup.

Film ini memang menggambarkan dengan jelas mengenai pembantaian pada zaman itu lewat beberapa rekonstruksi adegan yang dilakukan oleh para eksekutor yang kini sudah sangat uzur. Bahkan sisa usianya bisa dihitung dengan jari. Tidak hanya rekonstruksi adegan, para pembantai juga menceritakan segala kejadian masa lalu dengan penuh semangat. Pemotongan organ tubuh, penusukan, hingga tertumpahnya darah, semuanya dijelaskan dengan penuh semangat. Saking semangatnya, kalau saja ada lomba mendongeng tingkat nasional untuk lansia, pasti para jagal tersebut akan memborong seluruh pialanya.

Walau banyak adegan yang merepresentasikan kesadisan para pembunuh tahun 1965, Joshua Oppenheimer masih menunjukkan sisi kemanusiaan pada diri mereka. Salah satu adegan menunjukkan Inong, seorang tokoh pembantaian, bermain-main dengan seekor monyet. Pembunuh macam apa yang suka bermain-main dengan monyet? Pembunuh super sadis macam Mad Dog dalam film The Raid saja tidak bermain-main dengan monyet. Selain itu, ada pula adegan dua orang mantan jagal yang memetik bunga di semak-semak dan menciuminya. Mereka terlihat seperti tukang kebun yang sedang mencuri bunga, tidak terlihat ekspresi khas jagal dalam wajah mereka ketika sedang mencium wangi bunga. Ekspresinya sangat mirip dengan ekspresi anak SD yang sedang menjilati tangannya yang penuh dengan bumbu Chitato.


Sesuai judulnya, The Look of Silence memang banyak diisi dengan tatapan-tatapan mata tanpa dialog. Setiap dua kalimat yang terlontar dari mulut para jagal atau mulut Adi, terselip tatapan-tatapan mata tanpa dialog yang cukup panjang. Bahkan, karena panjangnya durasi tatapan mata tanpa suara, saya curiga, jangan-jangan Adi sebenarnya adalah paranormal yang bisa mempengaruhi pikiran orang melalui tatapan mata.

Walau sebuah film dokumenter, The Look of Silence tetap memberikan hiburan lewat tingkah ayah dan ibu Adi. Sang ayah, lansia yang konon sudah lebih dari 100 tahun hidup di bumi, sering melakukan hal-hal konyol namun terasa menyedihkan. Salah satunya ketika menyanyi dengan suara lirih karena gigi yang sudah habis dimakan usia. Curhatan-curhatan sang ibu juga begitu menyentuh disertai beberapa dialog jenaka.


Secara keseluruhan, The Look of Silence berhasil menyuguhkan perspektif baru dalam sejarah kelam Republik Indonesia. Ekspresi dan tatapan mata minim dialog juga sukses menjadi kekuatan tersendiri. Bagi sebagian lapisan masyarakat, terutama organisasi yang mengaku organisasi kepemudaan namun diisi preman dengan kulit gelap, wajah pas-pasan tingkat dewa dan tubuh bau keringat, film ini tidak sesuai dengan perspektif mereka. Akan tetapi, bagi generasi-generasi penerus bangsa, film ini wajib ditonton untuk menambah wawasan sekaligus memberikan pandangan-pandangan baru mengenai peristiwa 1965.

Share: 

1/10/2016

Resensi Film The Revenant (2015)


Alejandro Gonzales Inarritu memang bukan sutradara film populer dengan pendapatan sangat tinggi seperti J.J. Abrams, James Wan, Steven Spielberg, atau nama-nama beken lainnya. Namun, karya-karyanya tidak kalah bagus dengan tiga sutradara tadi. Ibarat keripik pedas, karya Inarritu adalah keripik pedas level 125, jika dimakan, saya yakin Anda butuh sepuluh tablet obat diare. Birdman dan Biutiful merupakan dua contoh karya Inarritu yang sangat baik secara kualitas. Bagaimana dengan The Revenant, karya terbaru Inarritu?

Dengan latar waktu di tahun 1823, Hugh Glass (Leonardo DiCaprio) adalah salah satu anggota dari kelompok berburu pimpinan Andrew Henry (Domhnall Gleeson). Nahas, suku Indian Arikara meyerang kelompok tersebut dan hanya sebagian kecil yang dapat bertahan. Di tengah perjuangan mereka dalam kondisi dingin yang ekstrim, seekor beruang grizzly menerkam, menggigit, dan mencakar Hugh Glass. Untung saja, beruang itu tidak membawa peralatan masak. Jika saja si beruang membawa peralatan masak, pasti Glass sudah menjadi sate atau gule. 

Glass terluka parah, bahkan hampir mati. Saking parahnya, John Fitzgerald (Tom Hardy), salah satu pemburu, menyarankan Henry untuk membunuh Glass. Namun usulan tersebut ditolak oleh Henry. Dalam keadaan genting dan semakin buruknya cuaca, Henry memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan menawarkan beberapa orang anggotanya untuk menemani Glass dengan sejumlah bayaran. Hawk (Forrest Goodluck) putra Glass, dan Jim Bridger (Will Poulter) menerima tawaran tersebut dengan sukarela. Karena pengalaman keduanya yang masih sangat minim, Fitzgerald dengan berat hati ikut membantu mereka menjaga Glass. Apa daya, karena niat yang tidak tulus, Fitzgerald membunuh Hawk dan memaksa Jim Bridger untuk pergi meninggalkan Glass di tengah hutan penuh salju.


Sinopsis di atas merupakan salah satu sinopsis paling panjang yang pernah saya tulis karena durasi film yang begitu panjang, sekitar 156 menit. Terpaksa saya berkali-kali menekan tombol pause dan melakukan kegiatan lain seperti menyapu, memasak, cuci piring, cuci pakaian, mencukur bulu ketiak, mencukur kumis, mencukur kumis yang ada di ketiak, dan aktifitas lainnya. Total saya menghabiskan waktu empat jam lebih untuk melakukan itu semua.

Dengan durasi teramat panjang, Inarritu berhasil menghibur penonton lewat pemandangan-pemandangan indah hutan bersalju. Selain keindahan hutan, suasana mencekam juga benar-benar terasa lewat akting Leonardo DiCaprio dan adegan-adegan bertahan hidup yang menegangkan sekaligus menyedihkan. Langkah gontainya, suara rintahannya, nafas beratnya, dan tatapan mata khas orang masuk angin memberikan nilai plus pada akting DiCaprio.


Inarritu juga cukup detail menggambarkan sosok Hugh Glass yang teguh pendirian dan pantang menyerah. Tak jarang Glass terpaksa berjalan cukup jauh pada suhu dingin yang sangat menyulitkan. Emosi Glass juga ditampilkan dengan epik lewat ekspresi dan pergerakan tubuh DiCaprio. Saya bisa merasakan dendam Glass yang begitu dalam meskipun saya tidak pernah kehilangan anak dan ditinggal dalam hutan penuh salju seperti Glass. Dendam terdalam saya adalah dendam kepada teman-teman sekolah saya yang suka menyembunyikan sepatu saya di tong sampah. Ada pula dendam kecil terhadap para perempuan yang dulu sering mengabaikan saya karena wajah saya masih di bawah standar.

Selain beberapa aspek positif di atas, panorama-panorama indah garapan sinematografi dari Emmanuel Lubezki kadang terasa mengganggu karena kemunculannya yang terlalu sering. Jika saja kemunculannya tidak terlalu sering, mungkin film ini akan menjadi film yang sempurna. Sesempurna ketampanan DiCaprio. Namun, kekurangan itu bisa ditutupi oleh akting DiCaprio yang benar-benar memukau. DiCaprio membuat kaum adam berwajah kurang standar semakin minder karena dia bisa memerankan sosok pria yang tidak tampan. Sedangkan pria yang sejak lahir tidak tampan alias jelek kecil kemungkinannya untuk memerankan pria tampan karena setampan apapun, pasti masih kelihatan jelek. Salut untuk DiCaprio. Semoga Oscar tahun 2016 bisa menjadi miliknya.

Share: