Setelah era John Wayne dan Clint Eastwood, genre film western semakin ditinggalkan. Tiap
tahun, bisa dihitung dengan jari jumlah film western yang diproduksi dan ditayangkan pada layar lebar. The Revenant, The Hateful Eight dan Magnificent
Seven adalah sebagian dari film western
yang telah dirilis tahun 2016. Ti West, sutradara yang populer di bidang
horror dan thriller, mencoba
peruntungannya dalam genre western lewat
In a Valley of Violence. Dibintangi
oleh sederet aktor dan aktris kondang seperti John Travolta, Ethan Hawke, dan
Taissa Farmiga serta diproduseri oleh Jason Blum yang pernah membidani beberapa
film ternama seperti Paranormal Activity,
Sinister, dan Insidious, ekspektasi penggemar berat film bertema koboi cukup
tinggi untuk film berbujet cukup rendah ini.
Paul (Ethan Hawke) dan Anjingnya, Abbie, sedang mengembara
menuju Meksiko. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu dengan pastor mabuk
(Burn Gorman) yang sedang meminta pertolongan. Sang pastor menunjukkan jalan ke
meksiko melalui sebuah kota kecil bernama Denton. Sesampainya di Denton, Paul
dan Abbie bertemu dengan Gilly (James Ransone), pria arogan yang juga anak dari
Marshal Clyde Martin (John Travolta). Dalam masa singgahnya di Denton, Paul
banyak dibantu oleh Mary-Anne (Taissa Farmiga), pengelola motel sekaligus calon
adik ipar Gilly. Banyak masalah menimpa Paul dan Abbie akibat ulah Gilly dan
kawan-kawannya.
Film-film western memang
tidak mudah dieksplorasi dalam bidang penceritaan. Kehidupan keras dunia koboi,
percintaan sang tokoh dengan perempuan di kota yang sama, duel pistol demi
kehormatan, hingga karakter mabuk yang sering mendukung peredaran bir saat
menjadi gubernur merupakan sebagian besar kisah yang melatarbelakangi sinema western. Latar tempat yang dipakai juga
banyak memiliki kesamaan antara satu film dengan film lainnya. In a Valley of Violence berpotensi jatuh
ke lubang kebosanan seperti hasil karya western
yang lain. Untungnya, akting Ethan Hawke beserta para pemeran pendukung
sukses menghidupkan suasana tegang sekaligus mengasyikkan. Sosok seorang Paul
memang bukanlah protagonis tanpa cacat. Masa lalunya yang kelam dan kondisinya
kini memaksa dia menjadi pria yang kasar dan tanpa ampun. John Travolta sebagai
ayah yang menyayangi putranya namun terlalu memanjakan berpadu apik dengan
karakter Paul, dan Gilly yang menyebalkan namun bodoh. Penokohan Gilly dalam In a Valley of Violence mengingatkan saya pada sosok lelaki pengecut
namun arogan yang suka menindas rakyat kecil dan menistakan agama lain.
Sayangnya, Gilly bukan koboi dari pesisir Belitung.
Seperti beberapa film western
terdahulu, In a Valley of Violence menambahkan
bumbu komedi pada setiap aksinya. Tidak selalu berhasil, memang. Tapi, jika
sekedar memancing tawa kecil, dialog-dialog jenaka dari Marshal, Paul, dan
kawan-kawan Gilly cukup baik dalam menjalankan tugasnya. Kalimat-kalimat
seperti “Tubby is not my real name, I’m Lawrence.”
atau “ I will call you whatever you
want, but please, stay out of the goddamn window.” membuat saya
mengembangkan senyum dan sedikit tertawa. Komedi dalam In a
Valley of Violence agak mirip dengan canda dari calon gubernur petahana DKI
2017: tidak selalu lucu dan cukup menyebalkan bagi orang lain.
Patut disayangkan, In
a Valley of Violence mengakhiri kisahnya terlalu klise. Adegan
tembak-menembak di akhir cerita memang cukup menegangkan dan bisa dinikmati,
namun setelah itu, tidak banyak perbedaan dengan sesama film koboi yang
sudah-sudah. Endingnya mudah ditebak
dan tidak memberikan kejutan bagi penonton. Semoga Pilkada DKI tahun 2017
memberikan kejutan yang menggembirakan bagi publik Jakarta. Bukan kejutan yang
menyengsarakan, seperti terpilihnya incumbent
untuk periode kedua, contohnya.