10/29/2016

Resensi Film In a Valley of Violence (2016)


Setelah era John Wayne dan Clint Eastwood, genre film western semakin ditinggalkan. Tiap tahun, bisa dihitung dengan jari jumlah film western yang diproduksi dan ditayangkan pada layar lebar. The Revenant, The Hateful Eight dan Magnificent Seven adalah sebagian dari film western yang telah dirilis tahun 2016. Ti West, sutradara yang populer di bidang horror dan thriller, mencoba peruntungannya dalam genre western lewat In a Valley of Violence. Dibintangi oleh sederet aktor dan aktris kondang seperti John Travolta, Ethan Hawke, dan Taissa Farmiga serta diproduseri oleh Jason Blum yang pernah membidani beberapa film ternama seperti Paranormal Activity, Sinister, dan Insidious, ekspektasi penggemar berat film bertema koboi cukup tinggi untuk film berbujet cukup rendah ini.


Paul (Ethan Hawke) dan Anjingnya, Abbie, sedang mengembara menuju Meksiko. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu dengan pastor mabuk (Burn Gorman) yang sedang meminta pertolongan. Sang pastor menunjukkan jalan ke meksiko melalui sebuah kota kecil bernama Denton. Sesampainya di Denton, Paul dan Abbie bertemu dengan Gilly (James Ransone), pria arogan yang juga anak dari Marshal Clyde Martin (John Travolta). Dalam masa singgahnya di Denton, Paul banyak dibantu oleh Mary-Anne (Taissa Farmiga), pengelola motel sekaligus calon adik ipar Gilly. Banyak masalah menimpa Paul dan Abbie akibat ulah Gilly dan kawan-kawannya.

Film-film western memang tidak mudah dieksplorasi dalam bidang penceritaan. Kehidupan keras dunia koboi, percintaan sang tokoh dengan perempuan di kota yang sama, duel pistol demi kehormatan, hingga karakter mabuk yang sering mendukung peredaran bir saat menjadi gubernur merupakan sebagian besar kisah yang melatarbelakangi sinema western. Latar tempat yang dipakai juga banyak memiliki kesamaan antara satu film dengan film lainnya. In a Valley of Violence berpotensi jatuh ke lubang kebosanan seperti hasil karya western yang lain. Untungnya, akting Ethan Hawke beserta para pemeran pendukung sukses menghidupkan suasana tegang sekaligus mengasyikkan. Sosok seorang Paul memang bukanlah protagonis tanpa cacat. Masa lalunya yang kelam dan kondisinya kini memaksa dia menjadi pria yang kasar dan tanpa ampun. John Travolta sebagai ayah yang menyayangi putranya namun terlalu memanjakan berpadu apik dengan karakter Paul, dan Gilly yang menyebalkan namun bodoh. Penokohan Gilly dalam In a Valley of Violence  mengingatkan saya pada sosok lelaki pengecut namun arogan yang suka menindas rakyat kecil dan menistakan agama lain. Sayangnya, Gilly bukan koboi dari pesisir Belitung.


Seperti beberapa film western terdahulu, In a Valley of Violence menambahkan bumbu komedi pada setiap aksinya. Tidak selalu berhasil, memang. Tapi, jika sekedar memancing tawa kecil, dialog-dialog jenaka dari Marshal, Paul, dan kawan-kawan Gilly cukup baik dalam menjalankan tugasnya. Kalimat-kalimat seperti “Tubby is not my real name, I’m Lawrence.” atau “ I will call you whatever you want, but please, stay out of the goddamn window.” membuat saya mengembangkan senyum dan sedikit tertawa. Komedi dalam  In a Valley of Violence agak mirip dengan canda dari calon gubernur petahana DKI 2017: tidak selalu lucu dan cukup menyebalkan bagi orang lain.


Patut disayangkan, In a Valley of Violence mengakhiri kisahnya terlalu klise. Adegan tembak-menembak di akhir cerita memang cukup menegangkan dan bisa dinikmati, namun setelah itu, tidak banyak perbedaan dengan sesama film koboi yang sudah-sudah. Endingnya mudah ditebak dan tidak memberikan kejutan bagi penonton. Semoga Pilkada DKI tahun 2017 memberikan kejutan yang menggembirakan bagi publik Jakarta. Bukan kejutan yang menyengsarakan, seperti terpilihnya incumbent untuk periode kedua, contohnya.


Share: 

8/04/2016

Resensi The Night of - Episode 1


Setelah berakhirnya True Detective musim kedua, HBO belum memproduksi serial detektif kelam nan realistis hingga kemunculan The Night of, sebuah miniseri yang dibintangi oleh Riz Ahmed dan John Turturro. Steve Zaillian dan Richard Price bertindak sebagai produser eksekutif, penulis skenario, sekaligus showrunner. Zaillian juga menyutradarai miniseri tersebut bersama dengan James Marsh yang pernah menyutradarai The Theory of Everything. Hasil karya Zaillian sebelumnya juga tak kalah apik. Sineas kelahiran California itu pernah menulis skenario pada film Moneyball,The Girl with the Dragon Tattoo, dan Exodus: Gods and Kings. Jajaran kru yang cukup berkualitas dan promo yang menarik membuat The Night of wajib mendapat perhatian dan pantas untuk ditonton (jika Anda memiliki waktu dan saluran HBO di rumah, atau mengunduh ilegal seperti kebanyakan penyuka film seperti saya dengan kondisi keuangan yang sangat mepet, jauh lebih mepet dari tempat parkir sepeda motor di mal ketika menjelang lebaran).

Nasir Khan (Riz Ahmed) hidup dalam keluarga muslim Pakistan di New York. Sang ayah, Salman Khan (Peyman Moaadi) adalah sopir taksi yang harus berbagi pendapatan dengan dua rekannya. Sang ibu, Safar Khan (Poorna Jagannathan) adalah pedagang kain di pasar. Hidup Naz-sapaan akrab Nasir Khan- berubah ketika dia bertemu Andrea Cornish (Sofia Black D’Elia) perempuan yang masuk ke taksi yang saat itu dikemudikan oleh Naz. Sosok Andrea yang nakal namun cantik dan sangat menarik membuat Naz menyetujui permintaan Andrea untuk bermalam di rumahnya. Nahas, dini hari saat Naz bangun, Andrea sudah tidak bernyawa dengan banyak tusukan di tubuh. Naz pun harus berurusan dengan Detektif Dennis Box (Bill Camp), polisi yang menangani kasus tersebut.


Penampilan Riz Ahmed yang sebelumnya pernah bermain di film Nightcrawler sukses mencuri perhatian. Karakter Naz yang canggung dengan emosi yang tidak stabil sangat cocok diperankan oleh Ahmed. Kecanggungan Naz mengingatkan saya pada masa kecil saya. Dulu, saya adalah bocah canggung namun banyak omong. Kombinasi kedua sifat tersebut membuat saya terlihat bodoh. Luar biasa bodoh. Kalau diingat kembali, mungkin saya adalah versi nyata Harry dan Lloyd dalam Dumb and Dumber.


Kemunculan John Turturro yang hanya sesaat pada episode pertama sedikit mengurangi intensitas cerita, tapi cukup membantu membangun plot untuk episode selanjutnya. Gerak tubuh, cara bicara, dan gaya busana John Stone, nama tokoh yang diperankan oleh Turturro, memiliki ciri khas tersendiri. Terutama kakinya yang mengidap penyakit aneh sehingga kakinya terlihat seperti kaki orang yang tidur di kebun tanpa obat nyamuk dan autan. Gaya bicaranya juga mirip pria mabuk yang baru kehilangan pekerjaannya akibat direshuffle oleh presiden.

Share: 

4/02/2016

Resensi Film Deadpool (2016)


Deadpool mencatatkan keuntungan yang luar biasa sejak penayangan perdananya pada 8 Februari 2016 di Paris. Sampai tanggal 24 Maret 2016, Deadpool meraih total pemasukan sebesar USD 735,6 juta dari budget yang “hanya” USD 58 juta. Promosi unik, ketampanan Ryan Reynolds, serta komiknya yang sangat dicintai oleh para penggemar merupakan beberapa faktor yang membuat Deadpool begitu sukses secara finansial. Bagaimana dengan kualitas filmnya?

Wade Winston Wilson (Ryan Reynolds) terjebak dalam keterpurukan akibat penyakit kanker yang dia derita. Vanessa (Morena Baccarin), kekasih Wilson,  yakin jika sang pacar akan segera sembuh. Wilson pun menerima tawaran dari orang yang tak dikenal demi kesembuhannya. Namun, ia tak bisa sembuh dengan mudah karena orang yang membantu Wilson, Francis alias Ajax (Ed Skrein), memiliki niat buruk yang berakibat fatal bagi Wilson. Kulit di sekujur tubuhnya rusak dan wajahnya menjadi buruk rupa. Wilson bertekad membalaskan dendamnya pada Ajax lewat identitas barunya sebagai Deadpool.


Tidak seperti kisah-kisah manusia super lainnya (kecuali Mario Teguh) yang menonjolkan sifat heroik, aksi pemberantasan kejahatan dan kostum-kostum ketat yang menampilkan otot yang terlampau besar, Deadpool lebih berfokus pada kehidupan seorang pria yang hancur dan usaha untuk membangun kembali hidupnya. Wilson alias Deadpool bahkan menyebut dirinya sebagai manusia super yang bukan pahlawan. Deadpool memang seorang pria biasa dengan kekuatan super yang memakai jam tangan bergambar tokoh kartun Adventure Time. Dia juga tidak pernah membayar taksi yang ditumpanginya. Wilson juga tetap tergoda saat melihat wanita cantik seperti Vanessa. Berbeda dengan Batman dan Superman ketika bertemu Wonder Woman tetap tidak tergoda dengan kecantikan dirinya.  Mungkin Batman dan Superman bukan lelaki normal.

Alur maju-mundur yang dibangun oleh Tim Miller pada debut penyutradaraannya ini cukup efektif dalam penghantaran karakter. Penonton awam tidak merasa asing dengan karakter Deadpool karena plot yang banyak diisi oleh pengenalan karakter dan kehidupan Wilson sebelum bertransformasi menjadi Deadpool. Namun, ada kekurangan yang sedikit mengganggu cerita. Kekurangan itu adalah kisah cinta Wilson dan Vanessa. Mereka berdua hanya digambarkan sebagai sepasang kekasih yang dimabuk cinta berbalut nafsu, bukan pasangan yang saling mencintai karena perasaan yang tulus. Pasangan Wilson-Vanessa tidak terlihat sebagai pasangan sehidup-semati seperti Habibie dan Ainun. Wilson dan Vanessa  lebih mirip dengan Risty Tagor dan Stuart Collins yang bercerai terlalu cepat, secepat membeli nasi padang di rumah makan minang.


Terlepas dari berbagai kekurangannya, Deadpool termasuk salah satu film yang wajib ditonton bagi penggemar pahlawan super dan sahabat-sahabat super yang setiap minggunya menonton acara motivasi dari pria berkaca mata tanpa rambut di kepala. Keseruan adegan-adegan laga sukses dikombinasikan dengan komedi dan drama yang cukup menghibur. Meski begitu, ada beberapa jenis orang yang tidak dianjurkan untuk menonton Deadpool. Pertama, orang (atau jomlo) yang mudah baper. Karena Wilson dan Vanessa beberapa kali melakukan kegiatan romantis yang berpotensi mengakibatkan baper berkepanjangan bagi penderita baper akut atau lelaki jomlo. Kedua, orang yang sedang diare. Karena beristirahat di atas tempat tidur jauh lebih baik daripada menonton film yang dipenuhi darah bercucuran, tangan yang diamputasi, serta isi kepala yang berhamburan.                                    


Share: 

3/20/2016

Resensi Film Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie (2016)


Funny or Die, perusahaan production house milik Will Ferrel, Adam McKay, dan Chris Henchy, merilis film ketiganya. Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie, judul film tersebut, dibintangi oleh pemeran kelas atas seperti Johnny Depp, Alfred Molina, hingga aktor pendatang baru yang mencuri perhatian lewat Room, Jacob Tremblay. Kenny Loggins yang populer sebagai pengisi original soundtrack film Caddyshack, Top Gun, dan Over the Top didapuk menjadi penyanyi lagu The Art of the Deal yang diciptakan khusus untuk film ini. Melihat jajaran aktor dan musisi yang terlibat dalam produksi Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie, ekspektasi tinggi pantas disematkan pada film karya Jeremy Konner ini.

Sineas kawakan Ron Howard yang bermain sebagai dirinya sendiri menemukan sebuah kaset VHS berisi film yang disutradarai, ditulis dan diperankan oleh Donald Trump (Johnny Depp). Film itu berkisah tentang perjuangan hidup dan tips bisnis dari Trump untuk anak kecil yang tanpa sengaja masuk ke ruang kerjanya. Salah satu perjuangan Trump adalah membeli Taj Mahal Casino dari pengusaha Merv Griffin (Patton Oswalt). Kisah cinta Trump dengan mantan istrinya, Ivana (Michaela Watkins) juga beberapa kali dibahas.



Kisah hidup orang-orang yang sukses di bidang tertentu memang amat menarik untuk difilmkan. Sudah tak terhitung berapa jumlah film yang terinspirasi dari kisah orang sukses. Banyak dari film-film tersebut mengambil tema sedih dan memaksakan filmnya untuk terlihat sedih walau sebenarnya tidak menyedihkan. Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie memberikan warna yang berbeda. Cerita kehidupan Donald Trump tidak dibuat memilukan dan tidak pula menguras air mata. Salah satunya karena Donald Trump sejak kecil tidak pernah jatuh miskin dan hidupnya relatif aman. Tidak seperti Saiful Jamil yang hidupnya penuh hambatan. Nikah-cerai, ditinggal wafat sang istri, menjalin hubungan dengan beberapa perempuan namun selalu kandas, sampai ditangkap polisi akibat membangunkan seorang remaja pria dan mengajaknya sholat subuh dengan cara yang tidak senonoh.

Ada satu kesamaan yang dimiliki Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie dengan Saiful Jamil. Kesamaan itu adalah tidak mulusnya jalan cerita. Film yang ditulis oleh Joe Randazzo ini bukanlah film yang luar biasa, sama seperti Saiful yang tidak luar biasa. Secara pengemasan komedi, Donald Trump's The Art of the Deal: The Movie sudah cukup maksimal. Hanya sedikit dialog yang masih perlu digali lebih dalam untuk memancing tawa penonton. Kekurangan itu bisa ditutupi oleh dialog dan adegan-adegan lain yang sangat absurd dan jenaka. Salah satunya adegan ketika grup musik The Fat Boys menyanyi bersama Trump. Kalimat yang diucapkan Trump seperti “It’s not a fake estate, it’s a real estate.” Atau “It’s the opposite of mistake. It’s a good stake.” Terdengar cukup absurd tapi tetap berpeluang menghasilkan tawa bagi sebagian penonton.



Selain Donald Trump, banyak tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi bagi para pembuat film. Saiful Jamil bisa jadi salah satu dari tokoh itu. Kehidupannya selalu menginspirasi masyarakat luas agar senantiasa bersyukur. Peristiwa miris sangat sering menimpa Saiful. Banyak manusia di dunia ini yang lebih beruntung dari dia. Sebagian besar masyarakat belum pernah ditahan karena membangunkan seorang remaja. Banyak pula orang yang tidak mengalami kecelakaan hebat di jalan tol dan terenggut pasangan hidupnya. Lebih banyak lagi yang tidak pernah menjadi juri kompetisi murahan.


Mungkin Saiful memang ditakdirkan untuk jadi objek kesialan. Karena orang sial pasti pernah beruntung. Bisa saja ada keberuntungan besar yang akan segera menghampiri Saiful. Dicalonkan sebagai presiden, misalnya. Sama seperti Donald Trump yang kini mencalonkan dirinya. Saya rasa Saiful dan Nassar cocok jika dipasangkan sebagai capres dan cawapres dari Partai Dangdut Indonesia Pergoyangan (PDIP).

Share: 

3/15/2016

American Crime Season 2 Episode 7-10


Episode Seven

Adik Eric mencuri cat semprot dan melakukan vandalisme di sekolah. Taylor babak belur akibat pengeroyokoan yang dilakukan teman satu tim Eric. Dokumen kesehatan Anne bocor di internet. Taylor depresi dan mencuri senjata api di rumah pamannya.

Konflik sudah memasuki titik puncak. Kepadatan cerita jauh lebih baik dibanding episode-episode sebelumnya. Episode Seven memfokuskan diri pada penderitaan Taylor pasca semua tragedi yang menimpanya. Sosok Taylor semakin mengundang simpati penonton. Perilaku setiap karakter mengikat emosi penonton pada sebagian besar adegan.

Episode Seven memberi contoh tentang kengenesan seorang jomlo. Namun, kengenesan itu diakibatkan oleh peristiwa ketika sang tokoh masih berpasangan dengan seseorang. Hanya jomlo sejati yang bisa merasakan penderitaan jomlo lain, karena itulah saya paham betapa sakitnya hati Taylor yang jomlo dan tidak punya kawan yang bisa melindunginya. Adegan ketika Taylor sedang berhalusinasi di tengah hutan menyadarkan para jomlo mengenai pentingnya mencurahkan isi hati pada orang terdekat. Termasuk kepada sesama jomlo. Karena jomlo yang bersatu bisa mengubah dunia.


Episode Eight

Taylor ditahan atas tuduhan penembakan di Leyland. Seluruh anggota tim basket berkabung atas kematian Wes. Putri Dan Sullivan (Sky Azure van Vliet), mengakui perbuatannya dan dihukum oleh sang ayah. Sebastian (Richard Cabral) mendatangi Anne dan menjelaskan maksud kedatangannya.

Tak seperti episode-episode sebelumnya, pada Episode Eight tampak beberapa video wawancara dengan berbagai latar belakang. Keberadaan video itu bertujuan untuk mendukung cerita karena semua narasumbernya adalah orang-orang yang pernah bersinggungan langsung dalam kasus penembakan di sekolah, bullying, dan kekerasan terhadap minoritas. Namun, video tersebut masih terasa kurang menyatu dengan isi cerita dan membuat penonton kurang bisa menikmati dan merasakan emosi dalam episode kedelapan ini. Walau memiliki kekurangan pada aspek emosi, sebagai episode yang sudah mendekati akhir serial, Episode Eight menawarkan konklusi yang menarik dan tidak monoton.


Bicara soal minoritas, bagi saya, kaum jomlo sudah menjadi minoritas di tengah maraknya muda-mudi yang berpacaran dan menikah. Kini seorang jomlo bagaikan lansia yang sanggup bermain sepak bola selama 90 menit. Sangat sedikit jumlahnya. Bahkan, menurut prediksi saya, jomlo bisa saja punah seperti dinosaurus dan burung dodo. Jika jomlo sudah punah, saya yakin banyak museum yang tertarik untuk menyimpan koleksi yang berbau jomlo. Mie instan, tisu, serta air mata, misalnya. Bahkan, bisa saja ada museum yang mengabadikan fosil jomlo purbakala atau fosil homo jomblonicus.
 
Episode Nine

Sebastian membantu Anne dengan kemampuan teknologinya. Dixon disidang oleh Dinas Pendidikan. Steph Sullivan mendatangi kediaman Anne dan memohon untuk tidak mencatut nama anaknya pada kasus Taylor. Eric Tanner bertemu kembali dengan adik dan ibunya. Kevin bertengkar dengan rekan satu timnya.

American Crime akan memasuki episode pamungkasnya. Sebagian klimaks sudah mulai dimunculkan pada Episode Nine. Salah satunya adalah reaksi Chris Dixon, kepala sekolah negeri tempat Taylor belajar. Selain itu, beberapa masalah sudah sedikit menampakkan titik terang. Emosi penonton kembali digali saat adegan-adegan yang menampilkan setiap karakter dan kesedihannya masing-masing. Ekspresi sebagian besar tokohnya juga tidak terkesan berlebihan dan cukup mengundang simpati bagi penonton.

Episode kesembilan ini banyak membahas perjuangan orang tua yang membela sang anak meskipun anak itu bersalah. Ketika anak mencuri mangga, misalnya. Pasti ada sebagian orang tua yang membela lewat berbagai cara. Pura-pura tidak tahu, pura-pura berubah jadi pohon mangga, bahkan pura-pura berubah jadi mangga. Seperti kata pepatah, batu akik tidak jatuh jauh dari embannya, sesungguhnya sifat anak adalah cerminan sifat orang tua. Jika sang ayah adalah musisi sombong yang kini menjadi wakil walikota dengan Harley Davidson segudang dan cincin akik di sepuluh jari, hampir pasti buah hatinya menjadi pribadi yang sombong pula, dengan cincin akik di sepuluh jari, namun tanpa Harley Davidson karena kakinya masih terlalu pendek untuk menginjak rem motor Harley, kecuali dia mau dan mampu menaiki Harley tanpa menginjak rem. Semoga dia selamat walau tidak mengerem sama sekali.


Episode Ten

Setelah mengudara selama sepuluh pekan atau dua bulan lebih, American Crime musim kedua telah mencapai episode terakhir. Secara keseluruhan, season kedua lebih seru dan lebih “menyentil” dibanding musim pendahulunya. Keluarga, rasisme, kesetiaan, kejujuran, hingga institusi pendidikan dikritisi melalui peceritaan menarik diiringi karakter yang kuat dan naskah tajam.

Taylor memberi keputusan terkait persidangannya. Becca Sullivan, putri Dan Sullivan, ditangkap akibat kasus penjualan narkotika. Sebastian dikagetkan oleh peretas lain. Tante Leslie Graham, tante-tante kepala sekolah Leyland mengalami masa terberat dalam hidupnya. Kevin dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan.

Sebagai episode penutup, Episode Ten banyak diisi konklusi-konklusi cerita yang tidak terlalu mengejutkan namun tetap menarik untuk diikuti sampai tuntas. Hadirnya tokoh Sebastian terkesan sedikit dipaksakan demi akhir serial yang menakjubkan dan meninggalkan perasaan kurang ikhlas pada penonton. Seperti ketika seorang perempuan berpacaran dengan laki-laki tampan namun tidak tahu nama sang pria, karakter Sebastian mirip dengan peristiwa itu. Penonton hanya mengenal Sebastian pada sepertiga akhir serial tanpa mengenal sosoknya lebih dalam. Sebastian seolah menjadi kunci dari episode terakhir tanpa penokohan yang kuat. Walaupun agak kurang pada karakter Sebastian, episode pamungkas American Crime tetap wajib ditonton karena akhir yang menegangkan sekaligus melegakan seperti permen Stensils pelega tenggorokan.

Seberapa baikkah Anda? Pertanyaan itu memang amat susah untuk dijawab. Saya sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Kalau boleh memilih, lebih baik saya diberi tanggung jawab untuk memakan petai dua kilogram setiap hari selama sebulan daripada harus menjawab pertanyaan di atas. American Crime Season 2 mengajak kita untuk merenungkan hidup dan mempertanyakan kebaikan sesama manusia karena terkadang sesuatu yang terlihat baik dari luar sebenarnya tidak baik jika dilihat lebih jeli. Seperti petai dua kilogram yang cukup nikmat tapi tidak baik untuk aroma mulut serta nafas konsumennya.

Share: 

3/10/2016

Dari Oscar 2016


Ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia paling bergengsi, Academy Awards atau Oscars, telah selesai diselenggarakan pada 28 Februari 2016. Bertempat di Dolby Theatre, banyak bintang besar Hollywood yang hadir. Leonardo DiCaprio, Michael Fassbender, Charlize Theron, Rachel McAdams dan Cate Blanchett merupakan beberapa di antara ribuan tamu yang hadir. Ada beberapa tamu unik yang hadir. Salah satunya J.K. Simmons. Sebelum mendapat Oscar tahun 2015 sebagai aktor pendukung terbaik, saya tidak tahu siapa J.K. Simmons itu. Bahkan, saya kira J.K. Simmons adalah nama samaran lain dari J.K. Rowling. Saya juga sempat mengira J.K. Simmons adalah adik dari Jusuf Kalla karena miripnya nama kedua individu tersebut. Selain J.K. Simmons, masih banyak keunikan dan kejutan-kejutan dari perhelatan Oscar tahun 2016. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
      
      1.    Kemenangan DiCaprio
Leonardo DiCaprio sudah 6 kali dinominasikan dalam Academy Awards (5 sebagai aktor dan satu sebagai produser), dan baru berhasil saat dinominasikan tahun 2016 lewat The Revenant. Saya tak bisa membayangkan perasaan DiCaprio saat gagal 5 kali. Gagal memenangnkan Oscar walau masuk nominasi berkali-kali itu sama sakitnya dengan seorang jomlo yang ditolak puluhan kali oleh pujaan hatinya. Jika itu terjadi pada diri saya, mungkin saya akan mengurung diri di dalam septic tank selama 7 hari 7 malam.

Ketika DiCaprio menghadiri seremoni Oscar 2016, dia mengajak ibunya. Kalau saya jadi ibunda dari Leonardo DiCaprio, mungkin saya akan memaksa Leo pensiun dari dunia akting karena selalu gagal memenangkan Oscar. Saya juga akan menyarankan Leo untuk alih profesi menjadi penyanyi dangdut. Toh, Leo sudah memiliki wajah rupawan yang merupakan modal terpenting pedangdut pria di Indonesia. Karena hanya ada dua kunci popularitas bagi setiap penyanyi dangdut pria di Indonesia : wajah tampan atau perilaku ngondek. Saya tidak tega melihat Leo bertransformasi menjadi pria ngondek seperti Nassar yang, jujur, membuat saya mual. Entahlah. Mungkin saya alergi Nassar seperti kebanyakan orang yang alergi pada kacang atau udang. Semoga suatu saat nanti Leonardo DiCaprio mau menyanyikan lagu dangdut macam Judi atau Sakitnya tuh di Sini.

      2.    Kesuksesan Spotlight
Sebelum pemenang kategori Best Picture diumumkan, banyak media internasional yang menjagokan The Revenant. Selain faktor Leonardo DiCaprio, sutradara Alejandro G. Innarritu juga berperan penting karena kesuksesannya melalui Birdman dan film-film sebelumnya. Namun, semua prediksi itu patah ketika Spotlight diumumkan sebagai pemenang Best Picture. Apa yang membuat Spotlight berhasil menyabet penghargaan tertinggi dunia perfilman itu? Ada beberapa jawaban yang mungkin bisa mengurangi rasa penasaran para pecinta film. Pertama, karena metode pemilihan. Khusus untuk menentukan pemenang nominasi Best Picture, Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS), organisasi penyelanggara Oscar, menggunakan preferential ballot yang diberikan pada 5.783 anggota. Jika ingin tahu lebih lanjut, silahkan baca di sini.

Kedua, karena tidak semua orang menyukai film seartistik The Revenant. Adegan DiCaprio sedang “diperkosa” beruang, makan hati bison mentah, dan mengobati dirinya dengan bara api bisa mengurangi kenyamanan bagi sebagian orang yang takut darah, kesadisan, atau phobia terhadap hati bison. Adegan Hugh Glass, karakter yang diperankan DiCaprio sedang bermesraan dengan istrinya juga berpotensi menyakiti hati perempuan jomlo penggemar berat Leonardo DiCaprio. Hamparan hutan salju dan panorama yang menyejukkan mata selama dua setengah jam film berlangsung memang cukup membantu alur cerita. Namun, saya sempat dibuat bosan. Karena itulah saya terpaksa menekan tombol pause dan pergi mendengarkan lagu dangdut yang dinyanyikan seorang pria yang kasus pencabulannya dapat menggetarkan dunia. Saya yakin gempa beberapa waktu lalu adalah akibat dari Saiful Jamil yang terlalu sering bergoyang.

Ketiga, karena Rachel McAdams lebih menarik dari Leonardo DiCaprio. Hampir tidak ada manusia di dunia ini yang meragukan ketampanan DiCaprio. Sama dengan McAdams yang tidak perlu dipertanyakan lagi kecantikannya. Kualitas akting keduanya juga sangat mumpuni. Dua nominasi Oscar tahun 2016 untuk peran masing-masing adalah salah satu buktinya.

Namun, peran DiCaprio bisa dibilang lebih berat dari McAdams. Terjebak di hutan salju dengan luka parah di sekujur tubuh bukan kondisi yang wajar bagi sebagian besar orang. Sedangkan McAdams “hanya” berperan sebagai jurnalis yang mewawancarai korban pelecehan sekaligus menjadi pendengar yang baik. Bagi sebagian orang (terutama kaum pria), McAdams dan personanya lebih menyentuh hati daripada DiCaprio dan hati bison mentahnya. Semua orang ingin didengarkan suaranya, tapi hampir tidak ada yang mau digigit dan dicabik-cabik oleh beruang grizzly. Banyak manusia yang suka akan keburukan sistem yang terkuak. Hampir tidak ada manusia yang ingin mencoba hati bison mentah. Saran saya, jika ada kesempatan kedua bagi The Revenant untuk menggondol Oscar, lebih baik beruang raksasa yang menyerang Leonardo DiCaprio diganti saja dengan Rachel McAdams yang kelaparan dan sangat ingin mencakar dan menggigit DiCaprio sampai dia terluka parah dan McAdams pergi dengan perut kenyang. Pasti akan lebih seru dan menegangkan.
 
Senyum McAdams Mengalihkan Dunia.

      3.    Dominasi Kulit Putih
Seluruh film yang dinominasikan dalam Best Picture terlalu banyak diisi pemeran-pemeran kulit putih. Bahkan, Spotlight yang memperoleh piala film terbaik tidak menyertakan pemain film non kulit putih. Setali tiga uang dengan Spotlight, kandidat film terbaik lain seperti The Big Short, Bridge of Spies, dan Brooklyn tidak memasukkan aktor dan aktris kulit hitam, coklat, merah, kuning, atau abu-abu ke dalam cast film. Apakah para pekerja seni pada film-film di atas rasis? Bisa jadi. Satu hal yang jelas, para aktor kulit hitam, Hispanik dan Asia kurang diberi kesempatan berkarya di industri Hollywood. Peluang yang lebih besar, bahkan kelewat besar tetap dimiliki kaum kulit putih. Jalan satu-satunya agar lebih diakui oleh Hollywood adalah mengganti warna kulit atau memutihkan kulit. Michael Jackson, contohnya. Selain itu, sineas kulit hitam mungkin bisa membuat industri sendiri sebagai tandingan dari Hollywood dan khusus bekerja sama dengan seniman kulit hitam. Mungkin industri tersebut nantinya bernama Blackywood.

Itulah beberapa kejutan dan keunikan penghargaan Oscar tahun 2016. Semoga Hollywood bisa mengambil hikmah dari penyelenggaraan Oscar tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya agar kualitas perfilman semakin baik dan semoga Leonardo DiCaprio bisa lebih peduli kepada para perempuan jomlo yang terlalu menggemari dirinya.


Share: 

2/25/2016

Resensi American Crime Season 2 Episode 5 & 6



Episode Five


Fakta-fakta mengejutkan mengenai Leland, sekolah lama Taylor, terungkap. Dan Sullivan mendapat saran dari istrinya untuk segera meninggalkan Leland dan pindah ke perguruan tinggi karena masalah yang menimpa tim basket sekolah. Taylor menghadapi hari-hari penuh kesendirian. Eric pulang dari rumah sakit.

Episode kelima menceritakan kehidupan semua karakternya dengan sangat adil. Tidak ada tokoh yang menonjol atau muncul terlalu sering. Porsi kemunculannya sangat berimbang. Dialog-dialog antar karakter juga terasa mengalir dan tidak berlebihan. Pergerakan kamera ketika pentas tari dilangsungkan cukup membuat penonton meresapi ironi dari kondisi pendidikan yang runyam.

Untuk pertama kali dalam sejarah penayangan American Crime musim kedua, saya merasa ada yang lebih mengenaskan kejomloannya dari saya. Adegan-adegan saat Taylor sendirian di rumah, berbaring di kasur tanpa teman, dan memencet tombol di microwave dengan ekspresi kesepian mengundang empati dari sesama jomlo seperti saya. Malam minggu diiringi hujan deras dan hanya ditemani oleh mie instan yang hampir kadaluarsa adalah malam-malam terburuk seorang jomlo. Apalagi jika tidak ada pulsa atau akses internet. Lengkap sudah penderitaan. Para jomlo hanya bisa pasrah dan berharap malam minggu segera berakhir atau berharap sosok Godzilla keluar dari bawah tanah dan melahap orang-orang yang sedang bermesaraan dengan kekasihnya.

Episode Six


Taylor meneruskan terapinya. Siswa hispanik di sekolah Taylor tetap melanjutkan unjuk rasa. Eric kembali bersekolah. Orang tua Kevin mencoba berbagai cara untuk menghindarkan dia dari tuntutan.

Episode keenam berjalan cukup baik meski temponya sedikit lebih lambat dari episode sebelumnya. Pergolakan emosi Taylor semakin intensif dan membuat penonton bisa memaklumi segala tindakannya. Pengembangan karakter bisa dimaksimalkan dengan baik dan menghasilkan suasana serta dialog yang menarik sekaligus realistis. Keluarnya tokoh baru sedikit mengganggu jalannya episode karena kurang utuhnya penggambaran watak sang tokoh.

Episode Six banyak menyorot perjuangan orang tua agar anaknya bisa hidup tenang. Bahkan, ada orang tua yang rela melakukan perbuatan negatif demi anaknya. Buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, kira-kira begitu kata peribahasa. Jika seorang ayah suka gonta-ganti istri dan mendidik anaknya dengan serampangan, bisa dipastikan anaknya menjadi nakal dan kebut-kebutan di jalan tol hingga menewaskan tujuh orang. Sayangnya, sang ayah kini akan menjadi calon gubernur ibukota. Jika sang ayah adalah pemimpin negara yang baik, jujur, dan tidak suka gonta-ganti istri, tidak mungkin lahir anak yang menjadi desainer ngondek, ketua umum partai yang tidak jelas juntrungannya, atau melahirkan cucu yang pernah berpacaran dengan Jane Shalimar dan kini tidak jelas bagaimana nasibnya.

Ayah yang mendidik anaknya dengan baik akan menghasilkan pribadi yang baik pula. Pribadi yang mau bekerja keras hingga bisa berjualan martabak dan memiliki katering untuk pernikahan. Sebentar lagi sang anak akan “menghadiahkan” orang tuanya cucu yang diharapkan sanggup menjadi pemimpin yang jujur, tidak seperti kakeknya


Share: 

2/20/2016

Resensi American Crime Story: The People Vs. O.J. Simpson Episode 1 & 2


Siapakah O.J. Simpson? Bagi generasi yang lahir pasca reformasi, O.J. Simpson mungkin dianggap masih satu darah dengan Bart, Homer atau Lisa Simpson dari serial The Simpsons. Bukan, O.J. Simpson yang memiliki nama lengkap Orenthal James Simpson adalah mantan atlet american football, aktor, dan narapidana kasus perampokan. Sebelum dipidana karena merampok pada tahun 2008, Simpson pernah menjalani persidangan atas tuduhan membunuh mantan istrinya, Nicole Brown Simpson, dan Ron Goldman, pelayan yang juga teman baik Nicole. Ryan Murphy dan Brad Falchuk, duo sineas brilian kreator serial Glee dan American Horror Story menjabat sebagai produser eksekutif dalam serial yang dibintangi Cuba Gooding Jr, John Travolta, Sarah Paulson, dan Jason Schwimmer ini. Dengan deretan aktor serta aktris mentereng, sespektakuler apakah American Crime Story?

Episode 1: From the Ashes of Tragedy

Tanggal 13 Juni 1994, dunia dikejutkan oleh pembunuhan Nicole Brown Simpson dan Ron Goldman. Keduanya ditemukan tak bernyawa di pekarangan rumah Nicole. O.J. Simpson (Cuba Gooding Jr.), mantan suami Nicole, dituding melakukan pembunuhan tersebut. O.J. menyewa tim kuasa hukum yang terdiri atas Robert Shapiro (John Travolta) dan Robert Kardashian (Jason Schwimmer). Kasusnya dieskpos banyak media massa. Bahkan ketika O.J. Mendatangi upacara pemakaman sang mantan istri, banyak wartawan dan reporter yang meliput.

Serial TV yang baik adalah serial yang membuat penontonnya antusias menunggu episode selanjutnya. American Crime Story berhasil melakukan itu. Saya yang tidak tahu seluk-beluk kehidupan O.J. Simpson merasa penasaran dengan episode penerusnya. O.J. Simpson “dikenalkan” pada penonton dengan cara yang ringan namun serius. Cara seperti itu sangat memudahkan penonton yang tidak mengetahui sosok O.J. Simpson seperti saya. Penampilan Cuba Gooding Jr. Sebagai pria tempramental yang rapuh dapat mengikat emosi penonton, meski tubuhnya tidak terlihat seperti atlet. Saya rasa Cuba Gooding lebih pantas memerankan pria kurang gizi di daratan Afrika daripada menjadi atlet karena tubuhnya yang kurus .


Episode 2: The Run of His Life

O.J. Simpson menaiki Ford Bronco putih dan sedang dalam pengejaran polisi. Robert Kardashian dihadapkan pada masa-masa genting. Johnnie Cochran (Courtney B. Vance) terus mengamati kasus O.J. dan Marcia Clarke (Sarah Paulson), jaksa penuntut kasus pembunuhan Nicole, marah akibat pengejaran polisi terhadap O.J. Simpson yang tak kunjung usai.

Tempo The Run of His Life berjalan lebih cepat dari episode pendahulunya. O.J. Simpson dan sahabatnya, A.C., mendapat porsi lebih banyak dari karakter-karakter lainnya. Penonton mulai bisa memahami sosok Robert Kardashian. Pengacara yang juga sahabat O.J. itu berhasil mencuri perhatian walau bukan fokus utama cerita. Robert Shapiro tidak terlalu banyak dibahas pada episode kedua. Jika saja tokoh yang diperankan oleh John Travolta itu diberi kesempatan tampil lebih bayak, mungkin episode kedua akan lebih menarik.


Bagi generasi yang hidup di zaman Jokowi atau Ahmad Dhani, keluarga Kardashian populer sebagai keluarga mewah yang bergelimang harta sekaligus bergelimang dosa. Rumah seluas Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), mobil dua pintu yang pintunya bisa terbuka seakan-akan pintunya patah, tas tenteng berhias berlian dan seperangkat alat sholat dibayar tunai, perawatan wajah seharga dua rumah dan dua mobil, masih banyak kekayaan harta yang dimiliki keluarga Kardashian. Konon, Kim Kardashian mendapat jutaan dollar dalam sekali pemotretan sebagai model sampul majalah Paper. Sebagian besar dari foto tersebut memperlihatkan aurat sang model. Betapa hebatnya keluarga Kardashian, melakukan dosa saja dibayar. Walau terlihat kaya raya, sebelum menjadi keluarga berkantong tebal seperti sekarang, keluarga Kardashian adalah keluarga biasa. Tidak terlalu kaya juga tidak terlalu miskin. Ayah dari keluarga Kardashian, Robert, banyak mengajarkan kepada putra-putrinya untuk tidak mementingkan harta. Bahkan Robert tidak suka disorot kamera televisi. Baginya, ketenaran dapat menjerumuskan manusia. Sangat disayangkan kondisi keluarga Kardashian yang kini terjerumus dalam ketenaran.

Share: 

2/16/2016

Resensi Film Spotlight (2015)


Tahun 2001, editor-in-chief baru di kantor berita The Boston Globe, Marty Baron (Liev Schreiber), tertarik dengan kolom mengenai seorang kardinal yang dituduh mengetahui pencabulan yang dilakukan pastor Geoghan. Baron meminta Walter “Robby” Robinson (Michael Keaton), ketua tim investigasi Spotlight yang memiliki spesialisasi dalam penulisan artikel investigasi tingkat tinggi untuk mengusut kasus itu. Robby dan anggotanya, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Brian d’Arcy James) berusaha melakukan investigasi. Mereka mendekati berbagai individu seperti pengacara Mitchell Garabidien (Stanley Tucci), psikoterapis Richard Sipe (Richard Jenkins), dan anggota jaringan korban pelecehan pastor Phil Saviano (Neal Huff). Ternyata kasus tersebut memunculkan banyak fakta mengejutkan.

Pelecehan seksual seolah sudah menjadi masalah yang sangat umum. Institusi pendidikan, kesehatan, lingkungan masyarakat hingga lembaga keagamaan hampir setiap hari mengisi pemberitaan media massa lewat kasus pelecehan seksual. Jumlah pelaku juga tidak kunjung turun, malah mengalami kenaikan. Investigasi tim Spotlight berfokus pada problematika di atas. Wawancara, analisa dokumen dan arsip, sampai pengamatan melalui berita-berita masa lampau bermuara pada satu tujuan. Tom McCarthy sebagai sutradara dapat mengajak penonton memahami perjuangan para kuli tinta. Penolakan wawancara karena pengaruh dari keluarga atau kerabat, waktu yang semakin singkat, konfrontasi antar wartawan, dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab digambarkan dengan sangat brilian.


Akting para pemeran patut diapresiasi. Karakter mereka yang berbeda satu sama lain namun tetap terlihat padu berhasil memukau penonton. Penghargaan Screen Actors Guild Awards untuk seluruh aktor dan aktris yang terlibat dalam Spotlight pantas mereka raih. Karakter Michael Rezendes yang diperankan Mark Ruffalo cukup mencuri perhatian. Sebagai jurnalis ambisius dengan emosi yang kadang meledak-ledak, Ruffalo dapat mencerminkan watak tersebut melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh. Rachel McAdams juga tak ketinggalan menampilkan salah satu performa terbaiknya sepanjang karir sang aktris.

Spotlight meninggalkan tanda tanya besar untuk penonton. Bagaimana cara menghentikan segala kejahatan seksual yang kini seakan tak pernah putus? Saya tak bisa menjawabnya. Saya bukan ahli kesehatan atau seksolog macam Boyke yang agak keperempuan-perempuanan itu. Saya juga bukan Ryan Thamrin yang tampil di program kesehatan salah satu televisi swasta tiap pekan dan kini membintangi iklan air mineral yang konon rasanya manis, semanis sirup Maridjan rasa stroberi. Saya hanya seorang jomlo yang tidak keperempuan-perempuanan (baca: ngondek) dan tidak pula tampan. Saya juga bukan bintang iklan air mineral manis atau iklan sirup Maridjan.



Semoga kasus pencabulan bisa ditekan semaksimal mungkin, dan semoga para pelaku pencabulan dihukum seberat mungkin. Karena saya percaya, seburuk-buruknya orang yang tidak cabul, masih lebih buruk orang yang cabul.


Share: 

2/15/2016

Resensi Film The Hateful Eight (2015)


Delapan orang terjebak dalam satu ruangan ketika badai salju. Semuanya sama-sama mencurigai satu sama lain. Tidak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri. Suasana mencekam. Itu adalah sebagian dari cerita film kedelapan karya Quentin Tarantino. The Hateful Eight, judul film tersebut, mengambil latar waktu pasca perang sipil di Amerika Serikat atau akhir 1800-an. Belum ada wi-fi, belum ada ponsel pintar, belum ada aplikasi chatting dan orang yang terjebak saat badai salju tidak bisa memesan taksi Uber atau ojek online.

John Ruth (Kurt Russel), seorang bounty hunter, membawa tahanan wanita, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) dalam kereta kuda yang dikusiri oleh O.B. (James Parks). Di tengah perjalanan, mereka bertemu bounty hunter kulit hitam. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), nama sang bounty hunter kulit hitam, meminta tumpangan ke Red Rock, kota yang juga tujuan dari John Ruth. Tidak lama setelah Warren naik ke dalam kereta, Chris Mannix (Walton Goggins), sheriff baru Red Rock, mencegat kereta tersebut dan memohon untuk ikut menumpang karena badai salju yang semakin kencang. Mereka beristirahat sejenak sambil menunggu badai salju reda di sebuah rumah kecil milik Minnie dan Sweet Dave, namun sang pemilik sedang tidak ada. Ternyata rumah kecil itu sudah terisi oleh empat orang lainnya, Bob (Demian Bichir) yang mengaku sebagai pengurus rumah sejak pemiliknya pergi, Oswaldo Mobray (Tim Roth), Sanford Smithers (Bruce Dern), seorang jendral perang sipil, dan Joe Gage (Michael Madsen). Mereka semua terjebak dalam rumah kecil nan reyot dan saling curiga terhadap satu sama lain.


Seperti biasa, Quentin Tarantino memberi sentuhan khas pada setiap film-filmnya, tak terkecuali The Hateful Eight. Dialog-dialog panjang dengan bumbu sarkasme dan komedi gelap, darah bercucuran, perempuan aneh, dan Samuel L. Jackson. Di samping dialog-dialog tanpa henti bak tukang kredit panci menawarkan dagangan, terselip adegan-adegan komedi gelap namun cerdas. Salah satu adegan yang membuat saya tertawa terbahak-bahak adalah adegan Daisy Domergue memperagakan ucapan John Ruth. Selain itu, percakapan Warren tentang semur sangat membekas dalam ingatan.

Satu jam pertama The Hateful Eight tidak terlalu memberikan ketegangan. Beberapa bagian terasa kosong tanpa ada kesan tegang atau lucu. Hanya adegan-adegan yang dibuat untuk mendukung cerita namun kurang memberikan emosi pada penonton. Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan film seperti itu, saya sarankan Anda minum kopi hitam satu gelas atau minum dua termos air hangat agar tidak cepat mengantuk. Kalau Anda menontonnya di luar ruangan, sediakan obat nyamuk sebanyak mungkin. Jika sakit berlanjut, hubungi dokter.



Jennifer Jason Leigh memang pantas dinominasikan sebagai aktris pendukung terbaik pada Oscar 2016. Perannya sebagai perempuan nakal dapat menghadirkan emosi tersendiri dan mampu membuat The Hateful Eight semakin menarik.  Saya sendiri sangat suka melihat perempuan nakal dengan muka berantakan. Wajah babak belur Jennifer terlihat sangat realistis. Greg Nicotero dari serial The Walking Dead dan Howard Berger berhasil menjalankan tugas mereka di bidang special make-up effect. Scoring Ennio Morricone dan sinematografi dari Robert Richardson menambah keindahan lewat alunan musik merdu dan panorama pegunungan bersalju. Bukan film terbaik dari Tarantino, tapi sangat layak untuk ditonton.

Share: 

2/05/2016

Resensi Film Our Brand is Crisis (2015)


Sebelum saya memutuskan untuk menonton Our Brand is Crisis, saya menemukan dua hal unik dari film yang diproduseri oleh George Clooney dan Grant Heslov itu. Keunikan yang pertama adalah Sandra Bullock. Jarang-jarang Tante Sandra membintangi film bergenre politik satir. Saya menaruh harapan tinggi kepada Tante Sandra yang sudah berusia 51 tahun. Semoga di usianya yang matang setengah tua, Tante Sandra bisa memberikan performa termanis. Semanis senyuman Tante Sandra.

Hal unik yang kedua adalah kejadian nyata yang melatar belakangi pembuatan Our Brand is Crisis, yaitu pemilihan presiden Bolivia tahun 2002 dan kampanye para kandidat. Kampanye dari Gonzalo Sánchez de Lozada, mantan presiden Bolivia, menjadi bahasan utama Our Brand is Crisis versi dokumenter dan dibuat tokoh fiksinya dalam film berjudul sama yang akan saya review kali ini. Lozada (bukan nama situs jual-beli online) menyewa firma komunikasi politik sebagai konsultan kampanye. Greenberg Carville Shrum, nama firma tersebut, didirikan oleh Stan Greenberg, James Carville dan Bob Schrum. Stan Greenberg adalah konsultan politik pada kampanye Presiden Joko Widodo.

Berlatar di Bolivia, mantan presiden Pedro Castillo (Joaquim de Almeida) mencalonkan kembali dan menyewa tim konsultan komunikasi politik beranggotakan “Calamity” Jane Bodine (Sandra Bullock), Rich (Scoot McNairy), Ben (Anthony Mackie), Nell (Ann Dowd), dan LeBlanc (Zoe Kazan). Mereka berhadapan dengan rival yang selalu memimpin jajak pendapat di media massa, calon presiden Rivera (Louis Arcella) dan konsultan komunikasi politiknya, Pat Candy (Billy Bob Thornton). Segala cara dilakukan kedua pihak untuk mengalahkan satu sama lain. Tak jarang mereka meneror lawannya dengan kampanye-kampanye negatif dan kampanye hitam.


Film berjenis politik satir selalu membuat saya tergugah. Peristiwa-peristiwa politik dan semua aspeknya memang amat menarik untuk diangkat ke layar lebar. Our Brand is Crisis berusaha menjadi film satir dipenuhi kejenakaan. Dialog yang terlalu serius dan lelucon yang terucap dari mulut sebagian besar karakternya berada di momen yang kurang tepat dan membuat filmnya kurang satir. Obrolan antara Jane, Ben, dan LeBlanc yang harusnya lucu berubah menjadi dialog kosong tanpa pengaruh. Sepanjang film, saya hanya tertawa satu kali ketika Jane bermain-main dengan Eduardo, salah satu relawan pemenangan Castillo.

Pernahkah Anda makan nasi dua piring besar tanpa lauk atau sayuran? Anda pasti akan merasa hambar walau kenyang dan tidak lama kemudian terserang diabetes karena makan nasi terlalu banyak. Itulah yang saya rasakan selama 107 menit film berlangsung. Hampir tidak ada emosi yang dapat mengaduk-aduk perasaan penonton. Saya juga hampir terkena diabetes karena kurang berhasilnya komedi yang ditampilkan dalam film ini.


Untungnya saya tidak sampai terserang diabetes. Joaquim de Almeida dan Sandra Bullock menyelamatkan saya. Keduanya sukses mendalami peran masing-masing. De Almeida sebagai seorang politisi ambisius dan sedikit arogan meninggalkan kesan tersendiri bagi penonton. Sandra Bullock juga tampil menawan. Aktingnya sebagai konsultan nakal namun cerdas mengundang decak kagum. Sandra Bullock benar-benar tante idaman.


Sindiran-sindiran politik yang tersemat pada Our Brand is Crisis cukup relevan dengan kondisi politik di Indonesia. Jika Anda ingin tahu bagaimana seorang pengusaha mebel asal solo bisa menang pada pemilihan presiden tahun 2014, tontonlah film ini. Trik demi trik yang dilakukan oleh Jane Bodine dan kawan-kawan kurang lebih sama dengan yang dilakukan tim pemenangan sang presiden yang (katanya) membela rakyat itu.

Share: 

2/02/2016

Resensi American Crime Season 2 Episode 3 & 4



Episode Three

Nama Kevin disebut dalam berita mengenai kasus pelecehan seksual yang menimpa Taylor. Polisi semakin intensif menyelidiki kasus tersebut. Dan Sullivan berusaha mencari solusi dibantu istrinya, Steph Sullivan. Episode ketiga memberikan alternatif jalan cerita dengan semakin bervariasinya tokoh yang muncul. Seperti Elvis Nolasco sebagai Chris Dixon, kepala sekolah negeri tempat kekasih Taylor bersekolah dan karakter Eric Tanner yang lebih digali walau belum cukup dalam. Sedikitnya adegan yang menampilkan kegelisahan Taylor membuat reaksinya sebagai korban kurang diekspos dan meninggalkan rasa mengganjal bagi penonton.

Seperti biasa, sinematografi American Crime bisa dibilang sangat indah dibandingkan serial-serial TV yang lain. Namun, Episode Three tidak terlalu menonjolkan keindahan itu. Meski tidak seindah episode sebelumnya, American Crime masih berada di jalur yang benar dan masih layak ditunggu kelanjutannya. Selain itu, kaum jomlo* lebih dihargai pada episode ini dengan tiadanya adegan-adegan percintaan yang berlebih. Sebagai jomlo, saya sangat mengapresiasi usaha serial karya John Ridley ini. Semoga program TV lainnya bisa ikut serta dalam menghormati dan menghargai kaum jomlo, terutama jomlo ngenes.


Episode Four

Polisi telah mendapatkan hasil dari pemeriksaan barang bukti. Kebenaran mulai terkuak. Dan Sullivan merasa terpukul akibat kebohongan seluruh anggota tim basket. Leslie Graham berkencan dengan kekasihnya. Taylor pindah ke sekolah negeri. Kepingan-kepingan cerita di atas dirangkai dengan sangat indah lewat sudut pengambilan gambar, ekspresi masing-masing karakter dan dialog-dialog kuat diiringi sedikit sentilan untuk masyarakat luas.

Saya tak bisa melupakan adegan saat Leslie Graham menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Amarah meluap dalam diri saya. Bagaimana bisa seorang kepala sekolah bermesraan saat sekolahnya sedang dirundung masalah pelik? Kalau saja saya murid dari Leland, nama sekolah tempat Leslie bekerja, saya akan memecat kepala sekolah saya dan menggantinya dengan perempuan yang lebih baik, berpengalaman, tidak banyak pacaran, dan yang paling utama, harus cantik agar para siswanya betah. Selain itu, kepala sekolah wajib menggratiskan kantin sekolah, karena kantin adalah penguras uang saku siswa nomor dua setelah pulsa. Bahkan, kalau bisa, sekolah memberi pulsa gratis untuk siswanya.

Kritik sosial yang disampaikan oleh Episode Four amat mengena namun tidak menyakitkan. Penonton merasa terikat dengan ceritanya sehingga kebenaran sekaligus kritik yang diselipkan lebih mudah dicerna. Bagi saya, Episode Four jauh lebih baik dari episode pendahulunya di American Crime musim kedua. Semoga episode-episode selanjutnya dapat mempertahankan kualitas itu, dan semoga sistem pendidikan di seluruh penjuru dunia lebih melek akan kebutuhan siswanya. Terutama kebutuhan pulsa dan akses internet untuk foto alay.

*) Jomlo menurut KBBI artinya "gadis tua" dan kini maknanya bergeser menjadi "orang yang     tak kunjung punya pasangan"

Share: