11/29/2015

Resensi Film Yakuza Apocalypse (2015)


Takashi Miike adalah sutradara penuh kegilaan dan absurditas. Ichi The Killer, Gozu, As The Gods Will adalah beberapa contoh absurditas dari Takashi Miike. Sama seperti saya yang karyanya terlalu absurd untuk dicerna. Jika suatu keabsurdan diterapkan dengan total, maka keabsurdan itu akan menjadi indah. Seindah semak-semak di pinggir jalan yang sering menjadi korban vandalisme diare para kucing. Absurd harus diterapkan secara menyeluruh, jika penerapan hal-hal absurd diterapkan setengah hati, akan terbentuk sebuah lubang yang membingungkan dan membuat keabsurdan menjadi sebuah kelemahan. Bukan kekuatan yang kokoh sekokoh semen Tiga Rossa. Inilah yang terjadi pada Yakuza Apocalypse.

Kamiura (Lily Franky), seorang vampir sekaligus bos yakuza yang sangat dihormati di wilayahnya. Ketika dia lewat, semua orang pasti akan melayangkan pandangan hormat kepadanya. Bahkan, kemungkinan ada pula yang menghormat padanya dan menyanyikan lagu Indonesia Raya disertai tim paduan suara yang mengiringi lagu dengan nada super absurd karena baru berlatih satu hari sebelumnya. Namun saya tidak melihat tokoh yang menghormati kamiura dengan cara seperti itu sepanjang film. Kamiura memiliki seorang anak buah yang sangat loyal. Salah satu anak buah tersebut adalah Kageyama (Hayato Ichihara).

Meski loyal, Kageyama tidak bisa menato tubuhnya seperti yakuza lainnya karena kelainan kulit. Karena itulah dia diperlakukan semena-mena oleh anak buah Kamiura yang lain. Hingga suatu ketika muncul musuh-musuh Kamiura dari beberapa negara lain yang berniat membunuhnya. Kageyama pun ikut membantu melawan musuh-musuh tersebut. Salah satu musuhnya adalah Kyoken (Yayan Ruhiyan). Seorang yakuza dengan gaya khas penggemar manga jepang atau biasa disebut otaku. Masih ada beberapa musuh lain seperti seorang pendeta dengan senapan mengerikan dan manusia kodok yang sangat jago bertarung. Jujur, saya sangat takut dengan manusia kodok yang ahli dalam bela diri. Karena jika manusia kodok bisa bertarung dengan buas, pasti manusia serigala yang ganteng dan ketujuh manusia harimau bisa bertarung dengan lebih buas.


Pada awal film, saya masih merasa film ini cukup layak ditonton. Setidaknya untuk hiburan diri saya yang masih sibuk menjomblo dan miskin hiburan pada malam minggu. Untung saja film ini tidak merusak malam minggu saya. Karena saya menonton film ini pada sabtu pagi. Perkiraan saya meleset setelah melewati 15 menit pertama. Saya mengantuk dan tertidur karena adegan dan cerita film yang penuh kekosongan dan berjalan terlampau lambat. Selambat cinta saya yang tidak disambut oleh perempuan manapun. Saya tertidur 150 menit. Padahal durasi filmnya hanya 125 menit.

Akhirnya saya menonton ulang karena tertidur terlalu lama. Parahnya, saya tertidur lagi. Saya heran, jangan-jangan saya tidak sedang menonton film, tapi sedang menghitung gambar ribuan domba di peternakan. Sebenarnya, kesalahan Yakuza Apocalypse hanya terletak di "kekosongan" cerita. Beberapa adegan yang menampilkan Sosuke Zenba (Reiko Takashima) sebagai kapten atau underboss dari Kamiura terasa kurang masuk ke dalam cerita. Itulah salah satu penyebab membosankannya film jepang pertama Yayan Ruhiyan ini.


Kekurangan Takashi Miike, sebagai sutradara adalah, film ini masih kurang total absurditasnya. Alur cerita yang kurang total keabsurdannya menjadikan film ini terasa kosong dan penuh celah. Celah yang ditinggalkan pun cukup besar. Sebesar celah pintu toilet di mall tempat saya biasa mengecek ada tidaknya orang yang sedang berkhidmat ria di dalam toilet.

Jika Anda ingin menjadi absurd, jadilah absurd sepenuhnya. Karena sesungguhnya absurd yang setengah hati akan meninggalkan kesan yang setengah hati pula. Absurdlah, karena absurd adalah sebagian dari kehidupan.




Share: 

0 komentar:

Posting Komentar