11/20/2015

Resensi Film American Ultra (2015)


Adanya Kristen Stewart dalam American Ultra membuat saya tertarik untuk menontonnya. Saya sangat merindukan Kristen Stewart tanpa manusia serigala. Dan American Ultra membalas kerinduan saya. Sepanjang 95 menit, tidak ada manusia serigala, manusia harimau, tukang bubur, atau preman yang baru pensiun. Tidak ada itu semua. Film ini diisi oleh peran Kristen Stewart sebagai Phoebe Larson, perempuan muda semi cabe-cabean yang sedang labil dan Mike Howell (Jesse Eisenberg) yang lagi-lagi menjadi pemuda yang pantas untuk dikasihani. Mereka berdua menjalin kasih dan tinggal bersama. Namun, alangkah kejutnya Phoebe ketika mengetahui bahwa pria yang menjadi kekasih hatinya ternyata seorang manusia dengan kekuatan spesial tanpa telor dan tanpa jeroan. Kekasihnya ternyata merupakan hasil percobaan pemerintah dengan kode "ultra". Saya curiga, jangan-jangan dia bukan manusia, tetapi seekor sapi yang menghasilkan susu UHT. Phoebe dan Mike pun berusaha mempertahankan nyawa mereka dari pasukan jahat dengan salah satu pembunuh bernama Laugher yang hobi tertawa. Saat bicara, dia tertawa. Saat membunuh, dia tertawa. Bahkan saat tertawa pun dia tertawa. 


 Pada seperlima bagian pertama, cerita masih berkutat pada kehidupan pasangan pemuda labil dan masalah yang menerpa Agen CIA, Victoria Lasseter (Connie Britton). Seperlima film kedua dan ketiga menghadirkan ketegangan dan inti cerita serta aksi tembak-menembak dengan intensitas tinggi.

American Ultra dapat menggambarkan suasana kota kecil dengan sangat indah. Kesepian yang dialami oleh Howell juga begitu terasa pada awal film. Karakter Rose (John Leguizamo) juga cukup menambah kesan latar tempat yang sempit. Ledakan-ledakan yang terjadi di akhir juga cukup menengangkan. Sama menegangkannya ketika ada orang yang menggedor-gedor pintu toilet ketika Anda sedang khidmat membuang hajat. Kegilaan yang ditunjukkan oleh Walton Goggins lewat perannya sebagai seorang antagonis bernama Laugher juga membuat tensi ketegangan terjaga. Ekspresi dan suara tawanya sangat gila. Lebih gila dari para pengemis kursi yang gagal terpilih. Scoring oleh Marcelo Zarvos cukup membantu adegan aksi dan suasana tegang semi galau. Salah satunya ketika adegan petasan berhamburan bak anak SD yang merayakan lebaran. Jika saja Marcelo Zarvos mau bekerja sama dengan Rhoma Irama membuat kembali film Satria Bergitar, saya yakin, film itu akan menjadi film dengan musik terbaik sepanjang sejarah film dangdut Indonesia. Meskipun harapan saya terlalu mustahil untuk diwujudkan, saya masih berharap Rhoma membuat sebuah film yang berkualitas. Bahkan, kalau bisa, Kristen Stewart berperan dalam film Rhoma. Saya rasa Stewart cukup pantas memainkan peran Ani.

Di balik keindahan latar tempat dan sinematografi dari Michael Bonvillain, cerita dalam film ini masih terlalu standar. Salah satu kekurangan yang saya sayangkan dalam film ini adalah kurang terikatnya emosi penonton dengan tokoh Mike Howell. Saya tidak merasa kasihan dengan keadaannya. Walaupun secara fisik dia sudah terlihat seperti Jokowi sedang terkena tifus. Saya lebih kasihan pada pejabat di Indonesia yang sedang rusuh akibat perusahaan tambang. Saya juga cukup bersimpati dengan kesedihan dari wajah ketua dewan ketika ditanya soal perusahaan tambang. Saya yakin ketua dewan itu bisa menjadi salah satu aktor pemenang FFI di masa depan.

Sangat indah dalam pengambilan gambar, namun masih kurang dalam pendalaman emosi pada karakternya. Anda akan merasa terhibur ketika menonton film ini. Namun jika Anda mencari nilai-nilai khusus, ilmu pengetahuan, ilmu agama atau ilmu negosiasi tambang, saya sarankan Anda tidak menontonnya. 


Share: 

0 komentar:

Posting Komentar