2/15/2016

Resensi Film The Hateful Eight (2015)


Delapan orang terjebak dalam satu ruangan ketika badai salju. Semuanya sama-sama mencurigai satu sama lain. Tidak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri. Suasana mencekam. Itu adalah sebagian dari cerita film kedelapan karya Quentin Tarantino. The Hateful Eight, judul film tersebut, mengambil latar waktu pasca perang sipil di Amerika Serikat atau akhir 1800-an. Belum ada wi-fi, belum ada ponsel pintar, belum ada aplikasi chatting dan orang yang terjebak saat badai salju tidak bisa memesan taksi Uber atau ojek online.

John Ruth (Kurt Russel), seorang bounty hunter, membawa tahanan wanita, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh) dalam kereta kuda yang dikusiri oleh O.B. (James Parks). Di tengah perjalanan, mereka bertemu bounty hunter kulit hitam. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), nama sang bounty hunter kulit hitam, meminta tumpangan ke Red Rock, kota yang juga tujuan dari John Ruth. Tidak lama setelah Warren naik ke dalam kereta, Chris Mannix (Walton Goggins), sheriff baru Red Rock, mencegat kereta tersebut dan memohon untuk ikut menumpang karena badai salju yang semakin kencang. Mereka beristirahat sejenak sambil menunggu badai salju reda di sebuah rumah kecil milik Minnie dan Sweet Dave, namun sang pemilik sedang tidak ada. Ternyata rumah kecil itu sudah terisi oleh empat orang lainnya, Bob (Demian Bichir) yang mengaku sebagai pengurus rumah sejak pemiliknya pergi, Oswaldo Mobray (Tim Roth), Sanford Smithers (Bruce Dern), seorang jendral perang sipil, dan Joe Gage (Michael Madsen). Mereka semua terjebak dalam rumah kecil nan reyot dan saling curiga terhadap satu sama lain.


Seperti biasa, Quentin Tarantino memberi sentuhan khas pada setiap film-filmnya, tak terkecuali The Hateful Eight. Dialog-dialog panjang dengan bumbu sarkasme dan komedi gelap, darah bercucuran, perempuan aneh, dan Samuel L. Jackson. Di samping dialog-dialog tanpa henti bak tukang kredit panci menawarkan dagangan, terselip adegan-adegan komedi gelap namun cerdas. Salah satu adegan yang membuat saya tertawa terbahak-bahak adalah adegan Daisy Domergue memperagakan ucapan John Ruth. Selain itu, percakapan Warren tentang semur sangat membekas dalam ingatan.

Satu jam pertama The Hateful Eight tidak terlalu memberikan ketegangan. Beberapa bagian terasa kosong tanpa ada kesan tegang atau lucu. Hanya adegan-adegan yang dibuat untuk mendukung cerita namun kurang memberikan emosi pada penonton. Bagi Anda yang tidak terbiasa dengan film seperti itu, saya sarankan Anda minum kopi hitam satu gelas atau minum dua termos air hangat agar tidak cepat mengantuk. Kalau Anda menontonnya di luar ruangan, sediakan obat nyamuk sebanyak mungkin. Jika sakit berlanjut, hubungi dokter.



Jennifer Jason Leigh memang pantas dinominasikan sebagai aktris pendukung terbaik pada Oscar 2016. Perannya sebagai perempuan nakal dapat menghadirkan emosi tersendiri dan mampu membuat The Hateful Eight semakin menarik.  Saya sendiri sangat suka melihat perempuan nakal dengan muka berantakan. Wajah babak belur Jennifer terlihat sangat realistis. Greg Nicotero dari serial The Walking Dead dan Howard Berger berhasil menjalankan tugas mereka di bidang special make-up effect. Scoring Ennio Morricone dan sinematografi dari Robert Richardson menambah keindahan lewat alunan musik merdu dan panorama pegunungan bersalju. Bukan film terbaik dari Tarantino, tapi sangat layak untuk ditonton.

Share: 

0 komentar:

Posting Komentar