7/10/2017

Resensi Film Requiem for a Dream (2000)


Narkotika sudah tidak diragukan lagi bahayanya. Mulai berhalusinasi hingga kematian, efek buruk obat-obatan terlarang seolah tak habis dibahas seumur hidup. Darren Aronofsky, sutradara yang sangat populer berkat The Black Swan yang artistik dan cukup membuat galau itu pada awal karirnya menulis dan menyutradarai Requiem for a Dream. Berkisah tentang empat orang yang kecanduan obat dan dibintangi oleh Jared Leto, Marlon Wayans dan Jennifer Connelly, banyak kritikus yang merekomendasikan film layar lebar kedua Aronofsky itu sebagai film yang menggambarkan kehidupan para candu dengan detail sekaligus menguras air mata.

Berkutat pada kehidupan empat orang dalam lingkungan urban Kota New York, pasangan Harry Goldfarb (Jared Leto) dan Marion Silver (Jennifer Connelly), sahabat Harry, Tyrone C. Love (Marlon Wayans) dan ibu kandung Harry, Sara (Ellen Burstyn). Marion didukung oleh sang pacar membangun usaha garmen, namun mimpi mereka terhalang kecanduan narkotika yang semakin parah. Tyrone berusaha membantu sang sahabat dengan menjual narkotika bersama dengannya. Sedangkan Sara diberi tawaran menjadi kontestan kuis televisi dan berjuang menurunkan berat badannya agar gaun favorit suaminya muat dikenakan oleh dirinya ketika tampil di layar kaca. Sang ibu akhirnya tenggelam dalam kecanduan pil diet.


Requiem for a Dream memiliki plot yang cukup sederhana. Kehidupan para pecandu obat-obatan terlarang dan kemunduran pada hidup mereka. Naskah karya Aronofsky dan penulis novel originalnya, Hubert Selby Jr, sangat mudah dicerna dengan dialog yang tidak berbelit-belit dan mirip dengan kehidupan sehari-hari. Percakapan Harry Dengan ibunya termasuk salah satu yang terlihat sangat natural dan amat sesuai dengan realita mengenai anak laki-laki nakal yang tetap ingin membahagiakan sang ibu. Percintaan Marion dan Harry terasa begitu memabukkan secara harfiah. Iya, keduanya memang sering bercengkrama dalam keadaan mabuk narkotika. Kehebatan Jennifer Connelly sebagai pemeran Marion yang tetap anggun meski terjebak dalam candu obat sangat terlihat. Connelly piawai dalam menggambarkan ekspresi pecandu yang sedang melayang pada halusinasinya namun tetap terlihat menarik sebagai seorang wanita. Amat berbeda dengan mantan aktris yang tubuhnya kini seperti kanvas lukis. Sang aktris yang konon suka sesama jenis itu tetap terlihat tidak menarik dalam keadaan mabuk ataupun sadar. Ekspresinya tetap terlihat seperti pemabuk gagal beranak banyak yang hidup di pesisir pantai mengandalkan bantuan turis asing.

Darren Aronofsky bisa dibilang jenius dalam memainkan kamera. Bukan presiden yang suka memainkan hati rakyat, Aronofsky banyak melakukan pengambilan gambar cepat dan memvisualkan adegan ketergantungan narkotika dengan sangat apik dengan bantuan sinematografi karya Matthew Libatique. Suntikan obat, pil yang ditelan, sampai halusinasi tentang kulkas yang berjalan dapat dimaksimalkan dan menambah keindahan dari Requiem for a Dream. Adegan klimaksnya juga penuh dengan filosofi dalam balutan gambar yang indah mengenai kehidupan keempat tokohnya pasca titik puncak kecanduan mereka. Semoga saja Aronofsky mau memproduksi film yang mengeksplorasi keindahan alam Indonesia karena keindahan alam + kompetensi Aronofsky = karya menakjubkan. Sama seperti soto babat yang memiliki rumus: kuah soto + babat yang empuk dan tidak terasa seperti handuk = soto super nikmat.


Dengan terus meningkatnya korban dari obat-obatan terlarang di Indonesia, sudah sepatutnya Requiem for a Dream masuk menjadi film wajib pada penyuluhan yang diselenggarakan oleh BNN. Bahkan, kalau bisa, BNN membagikan soto babat gratis bagi peserta sosialisasi anti narkotika di seluruh Indonesia.



Share: