Pernahkah Anda merasa senang setelah membuka tutup botol
berhadiah Rp 1 milyar, lalu tiba-tiba sedih karena Anda tidak sengaja membuang
tutup botol tersebut, tak lama kemudian Anda marah pada diri sendiri karena
rencananya uang tersebut dipakai untuk membayar cicilan motor yang sudah
menunggak 8 tahun. Belum lagi cicilan rumah dengan tunggakan 5 tahun, cicilan
ponsel, televisi, sepatu, tas, jaket, topi, sarung, serta hutang-hutang makanan
dan minuman yang belum dibayar ke warung terdekat.
Jika ada pernah merasakan perubahan emosi seperti contoh di
atas, itu juga yang dialami Riley Andersen, tokoh utama film Inside Out. Riley yang disuarakan oleh
Kaitlyn Dias adalah seorang anak dengan lima jenis emosi yang mengendalikan
otaknya melalui sebuah ruang kendali, Joy
(Amy Poehler), Sadness (Phyllis
Smith), Fear (Bill Hader), Anger (Lewis Black), dan Disgust (Mindy Kaling). Riley mengalami
masa-masa sulit pada hidupnya ketika harus pindah dari kota kelahirannya dari
Minnesota ke San Fransisco karena ayahnya (Kyle MacLachlan) mendapat pekerjaan
baru. Dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru, terjadi kecelakaan di dalam
ruang kendali otak Riley. Kecelakaan tersebut membuat Joy dan Sadness “terlempar”
keluar dari ruang kendali, sama seperti seorang laki-laki yang terlempar alias dicampakkan
oleh seorang perempuan karena wajahnya terlalu pas-pasan, kedua karakter yang
berbeda jauh itu harus berjuang untuk memperbaiki keadaan dan mengembalikan
diri mereka ke ruang kendali.
Saya sangat menyukai film yang bisa membawa penonton
merasakan perasaan yang sama dengan karakter dalam film dan Inside Out berhasil melakukannya. Sejak
awal hingga akhir, penonton merasakan simpati teramat dalam pada sosok Riley.
Seorang remaja perempuan baik-baik, bukan seorang alay, bukan cabe-cabean,
bukan anak Setya Novanto, bukan pula NM atau PR. Dengan masa-masa sulit yang
harus dihadapi, salah satunya ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah
baru, membuat saya merasa kasihan padanya. Saya bisa merasakan hal yang sama
karena saya sering mengalami masa sulit sebagai seorang jomblo. Ketika malam
minggu tiba, pria yang memiliki pacar bisa berduaan dengan pacarnya dan
mengelus-elus rambut sang perempuan. Saya hanya bisa berduaan dengan komputer
saya, menonton film mengenai orang yang sedang jatuh cinta sambil mengelus-elus
bulu hidung saya sendiri. Rasanya begitu sepi. Jika pria dengan pasangan bisa
berfoto dengan pasangannya pada malam minggu, saya hanya bisa berfoto dengan
poster Nabilah JKT48, sembari berharap suatu hari nanti Nabilah bisa mengenal
saya.
Film ini juga diperkuat dengan animasi yang spektakuler dan
terasa sangat realistis. Salah satunya adalah animasi yang menggambarkan
lingkungan tempat Riley tinggal. Pete Docter sebagai sutradara juga sukses
memanfaatkan persona para pengisi suara. Lewis Black yang terkenal dengan
persona marah-marahnya berhasil membuat peran Anger semakin melekat di hati penonton dengan suara khasnya. Phyllis Smith sebagai pengisi suara Sadness membuat saya bisa merasakan
kesedihan mendalam, sedalam kesedihan yang saya derita setiap malam minggu.
Meski sebuah film animasi, seluruh cerita dalam film sangat
relevan dengan realita kehidupan. Salah satunya dalam adegan Riley sedang marah
di meja makan. Dengan relevansi yang begitu tinggi, penonton tidak hanya
menonton film, tetapi juga bisa memahami kehidupan lewat alur yang sangat indah
dan rapi. Saya sangat berharap film ini bisa meraih penghargaan sebagai animated feature film terbaik di ajang
Golden Globe dan Oscar yang segera diselenggarakan pada awal 2016.
0 komentar:
Posting Komentar