12/13/2015

Resensi Film Inside Out (2015)


Pernahkah Anda merasa senang setelah membuka tutup botol berhadiah Rp 1 milyar, lalu tiba-tiba sedih karena Anda tidak sengaja membuang tutup botol tersebut, tak lama kemudian Anda marah pada diri sendiri karena rencananya uang tersebut dipakai untuk membayar cicilan motor yang sudah menunggak 8 tahun. Belum lagi cicilan rumah dengan tunggakan 5 tahun, cicilan ponsel, televisi, sepatu, tas, jaket, topi, sarung, serta hutang-hutang makanan dan minuman yang belum dibayar ke warung terdekat.

Jika ada pernah merasakan perubahan emosi seperti contoh di atas, itu juga yang dialami Riley Andersen, tokoh utama film Inside Out. Riley yang disuarakan oleh Kaitlyn Dias adalah seorang anak dengan lima jenis emosi yang mengendalikan otaknya melalui sebuah ruang kendali, Joy (Amy Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Fear (Bill Hader), Anger (Lewis Black), dan Disgust (Mindy Kaling). Riley mengalami masa-masa sulit pada hidupnya ketika harus pindah dari kota kelahirannya dari Minnesota ke San Fransisco karena ayahnya (Kyle MacLachlan) mendapat pekerjaan baru. Dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru, terjadi kecelakaan di dalam ruang kendali otak Riley. Kecelakaan tersebut membuat Joy dan Sadness “terlempar” keluar dari ruang kendali, sama seperti seorang laki-laki yang terlempar alias dicampakkan oleh seorang perempuan karena wajahnya terlalu pas-pasan, kedua karakter yang berbeda jauh itu harus berjuang untuk memperbaiki keadaan dan mengembalikan diri mereka ke ruang kendali.


Saya sangat menyukai film yang bisa membawa penonton merasakan perasaan yang sama dengan karakter dalam film dan Inside Out berhasil melakukannya. Sejak awal hingga akhir, penonton merasakan simpati teramat dalam pada sosok Riley. Seorang remaja perempuan baik-baik, bukan seorang alay, bukan cabe-cabean, bukan anak Setya Novanto, bukan pula NM atau PR. Dengan masa-masa sulit yang harus dihadapi, salah satunya ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah baru, membuat saya merasa kasihan padanya. Saya bisa merasakan hal yang sama karena saya sering mengalami masa sulit sebagai seorang jomblo. Ketika malam minggu tiba, pria yang memiliki pacar bisa berduaan dengan pacarnya dan mengelus-elus rambut sang perempuan. Saya hanya bisa berduaan dengan komputer saya, menonton film mengenai orang yang sedang jatuh cinta sambil mengelus-elus bulu hidung saya sendiri. Rasanya begitu sepi. Jika pria dengan pasangan bisa berfoto dengan pasangannya pada malam minggu, saya hanya bisa berfoto dengan poster Nabilah JKT48, sembari berharap suatu hari nanti Nabilah bisa mengenal saya.

Film ini juga diperkuat dengan animasi yang spektakuler dan terasa sangat realistis. Salah satunya adalah animasi yang menggambarkan lingkungan tempat Riley tinggal. Pete Docter sebagai sutradara juga sukses memanfaatkan persona para pengisi suara. Lewis Black yang terkenal dengan persona marah-marahnya berhasil membuat peran Anger semakin melekat di hati penonton dengan suara khasnya.  Phyllis Smith sebagai pengisi suara Sadness membuat saya bisa merasakan kesedihan mendalam, sedalam kesedihan yang saya derita setiap malam minggu.



Meski sebuah film animasi, seluruh cerita dalam film sangat relevan dengan realita kehidupan. Salah satunya dalam adegan Riley sedang marah di meja makan. Dengan relevansi yang begitu tinggi, penonton tidak hanya menonton film, tetapi juga bisa memahami kehidupan lewat alur yang sangat indah dan rapi. Saya sangat berharap film ini bisa meraih penghargaan sebagai animated feature film terbaik di ajang Golden Globe dan Oscar yang segera diselenggarakan pada awal 2016.

Share: 

0 komentar:

Posting Komentar